Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menjadi saksi bisu perjuangan hukum yang krusial bagi individu dengan penyakit kronis. Mereka menuntut keadilan dan pengakuan sebagai penyandang disabilitas di mata hukum. Permohonan ini, teregistrasi dengan Nomor 130/PUU-XXIII/2025 (130/2025), secara khusus menguji ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas).
Para pemohon yang mengajukan gugatan ini adalah Raissa dan Deanda, individu yang hidup dengan penyakit kronis. Penyakit yang mereka derita telah menyebabkan keterbatasan signifikan dalam menjalankan fungsi sosial dan kegiatan sehari-hari, namun mereka kesulitan mengakses hak-hak disabilitas seperti akomodasi yang layak dan pencatatan resmi. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan telah dilaksanakan pada Rabu, 13 Agustus 2025, dan kini prosesnya memasuki agenda pembuktian dengan mendengarkan keterangan dari Presiden, DPR, dan para ahli.
Inti dari permasalahan ini adalah definsi disabilitas fisik dalam UU saat ini yang terlampau sempit. Pemohon merasa dirugikan karena disabilitas fisik yang sifatnya taktampak (invisible disability) akibat penyakit kronis belum diakui secara eksplisit, padahal kondisi ini berdampak jangka panjang dan signifikan pada partisipasi sosial. Mengutip press release resmi, "Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena disabilitas fisik taktampak akibat penyakit kronis belum diakui secara eksplisit sebagai disabilitas di UU Penyandang Disabilitas."
Menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, penyakit kronis menyumbang 53,5% dari penyebab disabilitas pada penduduk usia 15 tahun ke atas. Sebagai contoh, penyakit nyeri kronis yang diderita Raissa membatasi fungsi tangan kanannya dan mempersulit kegiatan kuliah. Sementara itu, Deanda mengalami kelelahan ekstrem akibat autoimun, yang membuatnya harus cuti panjang dari pekerjaan.
Pengujian UU ini sejalan dengan semangat Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), yang mendefinisikan disabilitas sebagai konsep yang berkembang (an evolving concept). Jika disabilitas taktampak diakui secara eksplisit, negara dapat berperan aktif dalam mengurangi stigma yang sering menihilkan pengalaman dan hak-hak orang dengan penyakit kronis. Pengakuan ini tidak berlaku untuk semua kasus; disabilitas baru diakui jika kondisi penyakit kronis sudah menghambat aktivitas sehari-hari secara signifikan dan berjangka panjang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News