Pemerintah berencana memberlakukan pembatasan jam kerja sopir logistik dengan durasi maksimal 12 jam per hari. Langkah ini diambil sebagai bentuk perhatian terhadap keselamatan kerja pengemudi sekaligus keamanan lalu lintas di jalan raya. Kebijakan ini mencuat setelah adanya keluhan dari seorang sopir logistik yang disampaikan ke DPR, di mana ia mengaku kerap harus mengemudi hingga 14 jam tanpa istirahat cukup demi memenuhi target perusahaan.
Selama ini, beban kerja sopir logistik sering kali dinilai melampaui batas kemampuan manusia. Perjalanan jarak jauh yang ditempuh tanpa jeda istirahat memadai membuat sopir rentan mengalami kelelahan, bahkan berisiko tinggi menyebabkan kecelakaan. Dengan adanya regulasi pembatasan, pemerintah berharap para sopir memiliki waktu istirahat yang layak sehingga aspek keselamatan tetap terjaga.
Selain itu, aturan ini juga sejalan dengan praktik di sektor transportasi lain seperti penerbangan dan perkeretaapian, di mana profesi pilot dan masinis sudah lama memiliki standar ketat mengenai durasi kerja. Artinya, sopir truk logistik kini mulai mendapat perlindungan yang setara dalam hal batasan jam operasional.
Skema Jam Kerja Menurut UU
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, waktu kerja pengemudi angkutan umum — termasuk sopir truk logistik — dibatasi maksimal 8 jam sehari. Jika memang harus bekerja lebih lama, diperbolehkan tambahan waktu hingga 4 jam, sehingga total tidak boleh lebih dari 12 jam per hari. Selain itu, sopir wajib mendapatkan waktu istirahat setidaknya 30 menit setiap 4 jam mengemudi, guna menjaga kondisi fisik tetap prima.
Namun, fakta di lapangan sering kali berbeda. Seperti diungkapkan dalam rapat dengan DPR, sejumlah sopir logistik mengaku terpaksa menempuh rute panjang seperti Jakarta–Surabaya dengan durasi hingga 14 jam non-stop. Bahkan, ada yang mengandalkan suplemen atau “doping” agar tetap terjaga, yang tentu berbahaya bagi kesehatan maupun keselamatan di jalan.
Dampak bagi Perusahaan dan Konsumen
Penerapan aturan ini akan menuntut perusahaan logistik untuk menyesuaikan pola operasional mereka. Salah satu solusi yang harus disiapkan adalah sistem pergantian sopir dalam satu perjalanan panjang, agar distribusi tetap berjalan meski ada pembatasan waktu kerja.
Bagi konsumen, kebijakan ini mungkin berdampak pada biaya dan waktu pengiriman. Namun, dalam jangka panjang, pembatasan jam kerja justru diproyeksikan menciptakan ekosistem logistik yang lebih aman, berkelanjutan, dan manusiawi, baik bagi sopir, perusahaan, maupun pengguna jasa logistik.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News