Banyak yang keliru memahami peran negara dalam pengelolaan tanah. Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menegaskan bahwa negara tidak mengambil alih kepemilikan tanah rakyat. Peran negara adalah memastikan hak atas tanah dicatat, diakui, dan dilindungi secara hukum bukan mencabutnya.
UU Pokok Agraria (UUPA) telah mengatur bahwa tanah bisa dimiliki masyarakat. Negara hanya memegang hak menguasai untuk fungsi pengaturan, pengelolaan, dan perlindungan hak masyarakat. Pernyataan ini meredam kebingungan publik yang salah mengartikan semua tanah di Indonesia sebagai milik negara. Nusron juga menegaskan bahwa tanah warisan masyarakat tidak akan disita, selama memiliki status Hak Milik dan digunakan sesuai regulasi.
Pemerintah bisa mengambil kembali tanah yang dibiarkan tidak produktif selama lebih dari 2 tahun, menurut PP No. 20 Tahun 2021. Ini meliputi lahan dengan hak seperti Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), hingga hak pakai bukan tanah Sertifikat Hak Milik (SHM). Syaratnya, prosesnya tidak serta-merta, tapi melalui tahapan panjang selama sekitar 587 hari (hampir 1,5 tahun), dengan serangkaian surat peringatan berjenjang.
Tanah yang sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah hak penuh masyarakat dan aman diwariskan ke generasi berikutnya tanpa batas waktu pemanfaatan. Namun, lahan dengan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU) yang mangkrak, bisa ditetapkan sebagai tanah terlantar jika tidak dimanfaatkan dalam dua tahun.
Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis, menegaskan bahwa pemerintah tidak sembarangan menetapkan status “tanah terlantar” pada lahan milik warga.
Menurutnya, sasaran kebijakan ini hanyalah tanah yang benar-benar kosong dan tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan yang berlaku. Dengan demikian, tanah warisan yang tetap dirawat atau digunakan sebagaimana mestinya dipastikan aman dan tidak akan diambil alih oleh negara.
Pemerintah saat ini memantau sedikitnya 100 ribu hektare lahan yang terindikasi berpotensi menjadi tanah terlantar. Dari total 55,9 juta hektare tanah yang sudah bersertifikat di Indonesia, sekitar 1,4 juta hektare telah resmi masuk kategori tanah terlantar dan dimasukkan ke dalam program reforma agraria. Lahan-lahan tersebut direncanakan untuk dialokasikan kembali, misalnya kepada organisasi masyarakat atau melalui pengelolaan Bank Tanah, sehingga prosesnya bersifat legal dan terarah, bukan pengambilan paksa dari pemilik sah.
Pernyataan Nusron menuai sorotan tajam lantaran gaya penyampaiannya dianggap terlalu konfrontatif, salah satunya saat melontarkan kalimat, “emang mbahmu bisa bikin tanah?”. Menanggapi hal ini, sejumlah anggota DPR mendorong pemerintah untuk memilih narasi yang lebih edukatif dan solutif, sehingga pesan yang disampaikan tidak memicu keresahan di tengah masyarakat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News