Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengumumkan penemuan dua spesies baru anggrek dari Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, yaitu Dendrobium siculiforme dan Bulbophyllum ewamiyiuu. Penemuan ini merupakan hasil kolaborasi antara peneliti Indonesia dan Australia, yang kemudian dipublikasikan dalam jurnal internasional Telopea Vol. 29. Kedua spesies tersebut ditemukan saat kegiatan inventarisasi tumbuhan di Pulau Batanta pada tahun 2022, dan baru teridentifikasi setelah dikoleksi serta berbunga di laboratorium.
Anggrek Dendrobium siculiforme memiliki bunga krem kekuningan dengan guratan cokelat keunguan, sedangkan Bulbophyllum ewamiyiuu berukuran kecil dengan perpaduan warna kuning dan merah marun yang mencolok. Melansir laman resmi BRIN, kedua spesies tersebut termasuk dalam jenis anggrek epifit, yaitu anggrek yang tumbuh menempel secara alami pada batang pohon tanpa merugikan inangnya.
Dendrobium siculiforme memiliki batang tegak dengan tinggi antara 15 hingga 50 sentimeter dan daun yang tersusun berseling. Bunganya tumbuh di bagian atas batang dengan jumlah sekitar enam kuntum. Saat mekar penuh, diameter bunganya mencapai sekitar 7 sentimeter dengan warna krem kekuningan berpola guratan cokelat keunguan.
Nama “siculiforme” diambil dari bahasa Latin yang berarti “berbentuk belati,” merujuk pada bentuk cuping tengah bibir bunganya yang menyerupai senjata tersebut. Meskipun mirip dengan Dendrobium magistratus, spesies ini memiliki perbedaan pada karakter perbungaan serta bentuk sepal dan bibir bunga.
Sementara itu, Bulbophyllum ewamiyiuu berukuran lebih kecil, hanya sekitar 8 hingga 12 sentimeter dengan satu daun di setiap pseudobulb. Bunganya berukuran mini, sekitar 5–6 milimeter, tetapi tampil mencolok berkat kombinasi warna kuning dengan semburat merah marun yang kontras. Keunikan warna inilah yang membuat spesies ini tampak menonjol meski berukuran mungil.
Keduanya diduga merupakan tanaman endemik dengan penyebaran terbatas di wilayah Raja Ampat. BRIN mengusulkan agar Dendrobium siculiforme dikategorikan sebagai spesies Kritis dan Bulbophyllum ewamiyiuu sebagai Kekurangan Data (Data Deficient) sesuai standar IUCN.
Peneliti utama BRIN, Destario Metusala, menyebut temuan ini sebagai bukti bahwa hutan-hutan Papua masih menjadi pusat keanekaragaman hayati yang menyimpan potensi ilmiah besar. Ia juga mengingatkan bahwa ancaman terhadap kelestarian anggrek semakin meningkat akibat kerusakan habitat dan perdagangan ilegal. Karena itu, ia menekankan pentingnya upaya konservasi bersama antara peneliti, pemerintah, dan komunitas pecinta anggrek untuk menjaga keberlangsungan spesies endemik tersebut di alam.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News