Fenomena sound horeg, istilah yang berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti ‘bergerak’ atau ‘bergetar’, telah menjadi bagian dari budaya hiburan di sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Rangkaian sistem suara dengan volume yang sangat kencang, kerap memutar musik dangdut koplo, campursari, dan remix, telah berkembang dari sekadar hiburan sederhana di era 2000-an menjadi tontonan massal yang hadir di berbagai acara, mulai dari konser hingga pesta rakyat.
Popularitas sound horeg mencuat pada 2014 saat pawai di Kabupaten Malang, dan kemudian menyebar menjadi tren di wilayah seperti Banyuwangi, Sidoarjo, Blitar, Kediri, dan Surabaya. Dengan volume yang mencapai lebih dari 135 desibel, nilai satu unit carreta sound horeg bahkan bisa mencapai Rp3,9 miliar. Namun, tingginya intensitas ini membawa dampak yang memicu perhatian.
Melihat potensi mudarat dari dampak kebisingannya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025. Dilansir dari MUIDigital, MUI Jawa Timur resmi mengharamkan sound horeg jika dalam praktiknya terdapat unsur kemudaratan. Aturan ini menegaskan bahwa jika penggunaannya mengganggu ketenangan, mengancam kesehatan, atau merusak properti, maka hukumnya haram. Meski begitu, MUI Jatim tetap memperbolehkan sound horeg digunakan untuk kegiatan sosial, budaya, dan keagamaan yang tidak menyalahi hukum atau prinsip syariah.
Menanggapi fatwa dan batasan dari Pemerintah Provinsi Jatim, komunitas pengusaha di Malang mengganti nama "Sound Horeg" menjadi "Sound Karnaval Indonesia." Namun, nama tersebut tidak mengubah substansi peraturan yang sedang disusun. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menegaskan bahwa aturan pembatasan ini masih dalam tahap finalisasi dan akan segera diumumkan.
"Masyarakat butuh hiburan, tetapi semua harus sesuai aturan dan kewajaran," tambah Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak. Ia mengungkapkan ada empat poin utama yang diatur: batasan desibel, dimensi kendaraan, seni pengiring, serta rute dan waktu yang diperbolehkan. Emil juga menekankan pentingnya regulasi agar kegiatan ini tidak mengganggu kepentingan umum.