syukur yang membeku - News | Good News From Indonesia 2025

Syukur yang Membeku

Syukur yang Membeku
images info

Syukur yang Membeku


“Yang penting bersyukur.” Kalimat itu terdengar menenangkan dan akrab di telinga kita. Ia diucapkan di warung, di tempat kerja, bahkan di ruang publik ketika orang membicarakan hidup yang sulit. Namun, di balik keteduhan kalimat itu, tersimpan kebiasaan sosial yang diam-diam menahan langkah kita.

Syukur, dalam banyak hal, menjadi nilai yang menenteramkan. Akan tetapi ketika dipahami hanya sebagai penerimaan, ia berisiko mengikis keberanian untuk berubah. Pada titik inilah, syukur yang mestinya menguatkan justru membuat masyarakat berhenti bergerak.

Ketika Syukur Menjadi Kepasrahan

Bersyukur sering dipahami sebagai bentuk menerima keadaan sebagaimana adanya. Dalam budaya yang menjunjung ketenangan batin, sikap ini tampak luhur. Namun, di banyak situasi, makna itu bergeser menjadi alasan untuk tidak berbuat apa-apa.

Kita sering mendengar pekerja bergaji rendah berkata, “Yang penting masih ada pekerjaan.” Petani dengan hasil panen menurun merasa cukup karena “rezeki sudah diatur.” Pemilik usaha kecil berhenti berinovasi karena takut dianggap serakah.

Semuanya terdengar tenang, tetapi sesungguhnya menunjukkan cara berpikir yang tanpa sadar ikut mempertahankan ketimpangan. Syukur yang berubah menjadi kepasrahan menimbulkan rasa damai, tapi juga melumpuhkan daya untuk memperbaiki hidup.

Pola pikir ini tidak berhenti di ranah pribadi. Ia juga menjalar ke cara kita bekerja, berusaha, dan membangun ekonomi.

Ekonomi dan Nilai Sosial

Sosiolog ekonomi Mark Granovetter menyebut tindakan ekonomi manusia selalu melekat pada jaringan sosial dan nilai budaya yang mengitarinya. Kita bekerja, berdagang, atau mengambil keputusan bukan semata-mata karena perhitungan untung rugi saja, melainkan juga karena nilai, keyakinan, dan pandangan sosial yang membentuk cara kita memaknainya. Misalnya, di banyak desa, keputusan untuk berhutang atau membuka usaha sering tidak semata soal untung-rugi, tapi tentang menjaga hubungan baik dan tidak menyinggung tetangga.

Dalam masyarakat Indonesia, kegiatan ekonomi kerap dipengaruhi nilai nrimo, ikhlas, dan gotong royong. Nilai-nilai ini menjaga harmoni sosial, tetapi bila diterapkan tanpa keseimbangan, dapat menahan energi perubahan.

Ketika ketekunan dianggap cukup dan ambisi dilihat sebagai keserakahan, ekonomi kehilangan dorongan untuk tumbuh. Masyarakat menjadi tangguh dalam bertahan, namun enggan bergerak maju.

Dampak Sosial dari Syukur yang Statis

Rasa syukur yang kehilangan kesadaran kritis melahirkan kebiasaan menerima tanpa mempertanyakan. Dalam kehidupan kerja, hal ini menurunkan motivasi dan produktivitas. Dalam masyarakat, ia melemahkan keberanian menuntut keadilan. Dalam kehidupan publik, ia menjauhkan warga dari upaya memperbaiki sistem yang timpang.

Ketika ketidakadilan diterima sebagai bagian dari nasib, struktur sosial menjadi beku. Ketimpangan tidak lagi dipandang sebagai persoalan bersama, melainkan sebagai “jalan hidup” yang harus diterima. Akibatnya, syukur yang seharusnya menjadi kekuatan moral berubah menjadi mekanisme sosial yang menahan perubahan.

Menemukan Kembali Makna Syukur

Bersyukur seharusnya tidak meniadakan perjuangan, melainkan memberi arah padanya. Syukur yang sejati justru menggerakkan: ia membuat seseorang menghargai apa yang dimiliki sambil berusaha memperbaikinya.

Pekerja yang bersyukur atas pekerjaannya tetap berhak menuntut upah layak. Petani yang berterima kasih atas panennya boleh mencari cara agar hasilnya meningkat. Pelaku usaha kecil dapat merasa cukup tanpa berhenti belajar.

Syukur yang demikian menumbuhkan keseimbangan antara penerimaan dan aspirasi. Ia menenangkan tanpa mematikan daya juang, mengajarkan batas tanpa menghapus cita-cita.

Penutup

Bangsa ini tidak kekurangan rasa syukur. Yang sering hilang adalah kesadaran untuk menafsirkan ulang maknanya. Syukur seharusnya tidak membuat kita diam, tetapi menuntun kita untuk melangkah dengan tenang dan sadar arah.

Jika syukur berhenti pada ucapan, ia hanya menjadi ritual yang menenangkan hati tanpa menggerakkan pikiran. Namun bila syukur dihidupi sebagai kesadaran, ia dapat menjadi tenaga moral untuk memperbaiki kehidupan bersama.

Mungkin yang kita butuhkan kini bukan lebih banyak ucapan syukur, melainkan cara baru untuk memaknainya: syukur yang tidak membeku, tapi mengalir—menjadikan ketenangan sebagai dasar, dan perubahan sebagai tujuan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

GA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.