Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengumumkan tarif baru untuk produk farmasi bermerek atau yang dipatenkan hingga 100 persen. Namun, Trump memberikan pengecualian pada perusahaan yang mau membangun pabrik di negaranya.
Tak hanya itu, dalam pengumuman yang ia buat, berbagai macam furnitur, seperti lemari dapur, meja rias kamar mandi, dan lainnya juga ditargetkan akan menerima tarif hingga 50 persen. Sementara itu, pada furnitur yang berlapis kain, tarif yang ditembak adalah 30 persen.
Di sektor otomotif, truk-truk besar yang dibuat di luar negeri akan dikenakan tarif 25 persen. Upaya ini dilakukan Trump untuk mendukung produsen lokal. Penerapan tarif dimulai pada 1 Oktober 2025.
Keputusan ini sebenarnya tidak mengherankan, mengingat Trump juga sudah melakukan hal serupa di awal masa jabatannya. Trump memang dikenal memiliki prinsip America’s First, di mana ia ingin mengutamakan kepentingan domestik negaranya.
Arie Kusuma Paksi, S.IP., M.A., Ph.D., dalam keterangannya di laman Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menilai kebijakan yang dilakukan Trump adalah bentuk sekuritisasi perdagangan, yakni saat isu ekonomi ditempatkan dalam kerangka keamanan nasional yang berpotensi menggeser logika perdagangan internasional.
“Kalau sebelumnya perdagangan diatur oleh kepastian berbasis aturan melalui WTO (World Trade Organization), sekarang mulai bergeser ke arah power-based trade, di mana kekuatan politik menjadi faktor dominan dalam menentukan aturan main,” ungkap Arie.
Indonesia Berisiko Kehilangan Pasar
Kebijakan tarif yang diberlakukan Trump diperkirakan bakal berdampak cukup signifikan dalam dinamika perdagangan global. Tarif tinggi juga mendorong perusahaan multinasional untuk merelokasi pabtik mereka ke negara mitra strategis Amerika Serikat yang mungkin mendapat pengecualian.
Arie menerangkan, negara-negara eksportir, seperti Indonesia, Tiongkok, dan Vietnam berisiko kehilangan pasar, utamanya di sektor furnitur yang selama ini cukup kompetitif. Hal ini terjadi akibat ketidakpastian biaya dan akses pasar.
Meskipun demikian, Arie juga menjelaskan jika kebijakan ini tetap memiliki peluang, terutama bagi negara-negara yang mampu bernegosiasi. Negara yang bisa mendapatkan pengecualian tarif bisa mendapatkan keuntungan. Artinya, kemampuan diplomasi dagang menjadi faktor kunci di sini.
Indonesia menghadapi risiko nyata di sektor furnitur, otomotif, dan farmasi. Data dari Kementerian Perindustrian yang dirangkum UMY menyebut, ekspor furnitur Indonesia cukup dominan, sehingga penetapan tarif baru berpotensi menekan daya saing harga.
“Selain furnitur, rantai pasok otomotif seperti karet dan komponen interior juga bisa terdampak. Di sektor farmasi, meski ekspor kita masih kecil, regulasi ketat dari AS bisa menghambat pasokan bahan baku dari Indonesia. Namun di sisi lain, peluang tetap terbuka jika Indonesia bisa memainkan strategi tepat,” kata Arie.
Lebih lanjut, Arie memaparkan kemungkinan terburuk jika tarif terus berlanjut dan banyak negara gagal mendapat pengecualian. Jika benar terjadi, dampak jangka panjangnya bisa melemahkan World Trade Organization (WTO) selaku lembaga pengatur perdagangan multilateral.
“Apabila proteksionisme makin menguat, perdagangan dunia akan semakin terfragmentasi. Rantai pasok global menjadi tidak efisien, biaya produksi meningkat, dan inflasi struktural di negara besar seperti AS bisa menular ke seluruh dunia, yang pada akhirnya mengganggu stabilitas ekonomi global,” imbuhnya.
Apa yang Harus Dilakukan?
Hal yang harus dilakukan untuk menghadapi gejolak perdagangan akibat tarif Trump ini dapat dilakukan melalui langkah antisipatif, seperti diplomasi dagang proaktif, diversifikasi pasar, sampai penguatan daya saing domestik.
Arie mendorong pemerintah untuk bernegosiasi agar dapat pengecualian tarif, terutama di sektor furnitur. Ia juga menyarankan agar Indonesia melirik pasar Uni Eropa, Timur Tengah, dan Asia Timur lewat perjanjian dagang.
Dari dalam negeri, Arie juga menyarankan agar produk-produk lokal bisa naik kelas. Hal ini dapat dilakukan dengan sertifikasi, insentif ekspor, dan branding.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News