Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sepatutnya jadi pondasi yang hidup, relevan, dan berakar pada realitas anak-anak Indonesia. Namun sayangnya, sejauh ini, PAUD sekadar menjadi cetakan produk yang seragam.
Di sebuah kampung kecil di pinggiran kota, seorang ibu menaruh bata pertama di tanah yang gembur. Bukan bata sesungguhnya, melainkan selembar tikar usang yang digelar di bawah pohon jambu. Di sanalah anak-anak duduk bersila, menyanyikan abjad dengan suara sumbang tapi riang. Tak ada papan tulis, hanya tembok rumah yang dipinjamkan. Tak ada mainan mahal, hanya biji saga dan kotak kardus yang beralih rupa menjadi kereta api. Dari kesederhanaan itu, sebuah rumah pendidikan mulai berdiri.
Pendidikan usia dini sering dianalogikan dengan pondasi rumah: jika lemah, seluruh bangunan mudah retak. Tetapi kita lupa, pondasi bukan sekadar beton yang dicetak dari pabrik. Pondasi sejati dibangun dari kasih sayang, perhatian, dan rasa percaya antara orang tua, guru, dan anak. Tanpa itu, gedung sekolah yang megah hanya jadi monumen hampa—indah di foto, rapuh dalam kenyataan.
Di masa lalu, banyak orang tua di desa percaya, anak kecil tak perlu sekolah. “Nanti kalau sudah besar, baru belajar sungguh-sungguh,” begitu katanya. Tetapi zaman bergerak dengan langkah raksasa, dan anak-anak tanpa pondasi itu kini terseret arus, kehilangan pijakan. Sejarah mencatat, bangsa yang mengabaikan tahun-tahun emas anak-anaknya akan menuai generasi yang rapuh—mudah patah dalam badai kompetisi global.
Kini, sekelompok kecil pendidik dan orang tua memilih jalan lain. Mereka tak menunggu negara yang sering sibuk dengan jargon politik dan tender proyek. Mereka menyalakan pelita dari apa yang ada: ruang tamu, balai dusun, atau bahkan emper toko kosong. Dari situ lahirlah taman-taman kecil, rumah-rumah belajar yang tak hanya mengajarkan huruf, tapi juga martabat: bagaimana menghargai teman, berani mengungkapkan pikiran, belajar dari kegagalan tanpa rasa malu.
Baca Selengkapnya