siapkah tni al punya kapal induk - News | Good News From Indonesia 2025

Siapkah TNI AL Punya Kapal Induk?

Siapkah TNI AL Punya Kapal Induk?
images info

Selasa pagi saya membaca berita itu. Kopi belum habis, kepala langsung berputar. 

Indonesia mau punya kapal induk ! 

Saya setengah tak percaya (bahkan sampai sekarang).

Kata “kapal induk” biasanya hanya muncul di berita luar negeri. Amerika. Cina. India. Jepang. Selalu mereka. Bukan kita.

Indonesia? Selama ini headline kita hanya seputar kapal selam, fregat, atau kapal amfibi. Itu pun sudah cukup bikin heboh.

Lihat saja pekan ini. Kedatangan KRI Brawijaya-320 langsung jadi tajuk utama. Disebut fregat terbesar di Asia Tenggara. Panjang 143 meter. Bisa melaju 32 knot. Persenjataannya lengkap: rudal ASTER, Otomat, torpedo Eurotrop, meriam Leonardo. Sambutannya meriah. Menteri Pertahanan datang. Panglima TNI hadir. Kepala Staf Angkatan Laut berdiri di dermaga. Semua bangga. Semua sepakat: inilah simbol modernisasi armada.

Dan memang betul. Satu fregat saja sudah dianggap lompatan besar.

Tiba-tiba, muncul kabar: kapal induk.

Namanya pun jelas disebut: Giuseppe Garibaldi. Kapal induk ringan buatan Italia. Umurnya 40 tahun. Sudah ikut perang Kosovo, Libya, Afghanistan. Pernah kirim bantuan ke Haiti. Pensiun 2024.

Kapal induk Italia Giuseppe Garibaldi saat ikut latihan multinasional Majestic Eagle 2004. Kapal tua ini kini tengah dilirik Indonesia untuk jadi kapal induk pertamanyaSumber PHAN ROB GATON, USN 
info gambar

Sekarang dilirik Indonesia. Reaksi publik cepat: kapal tua. Kapal bekas. Kapal sisa. Tapi, saya husnudzon saja dan justru melihatnya sebagai tiket masuk.

India juga memulai dari kapal induk bekas Inggris. Brasil pun sama. Jepang belajar dari kapal orang. Thailand pun punya, meski lebih sering mangkrak.

Kalau negara-negara itu boleh mulai dari kapal induk bekas, kenapa Indonesia tidak?

ASEAN tentu kaget.

Vietnam akan berhitung ulang. Malaysia ikut gelisah. Singapura lebih waspada (negara ini sebenarnya selalu waspada hehe). 

Karena kapal induk bukan sekadar kapal besar. Ia alat politik. Apalagi kalau yang mengoperasikan adalah Indonesia. Negara kepulauan terbesar di dunia. Negara yang jalur lautnya jadi nadi perdagangan global. Angkatan lautnya bukan kaleng-kaleng. Setidaknya sejak 2 dekade terakhir. 

Nah, selama ini TNI AL disebut green-water navy. Jago di halaman rumah sendiri. Dengan kapal induk, status bisa naik jadi blue-water navy. Bisa berlayar jauh. Bisa hadir di Samudera Hindia. Bisa ikut patroli di Laut Cina Selatan. Bisa tampil di latihan multinasional di tengah laut, membawa serta pesawat tempur (tentu harus beli AV-8B Harrier II atau F-35B Lightning II yang bisa terbang dan mendarat secara vertikal) dan helikopter. 

AV-8B Harrier II vertical take-off | U.S. Marine Corps photo by Cpl. Abbey Perria/Released
info gambar

Memang, Garibaldi dirancang untuk jet Harrier dan F-35B. Indonesia tidak punya.

Apakah itu masalah? Tidak juga.

Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, helikopter justru lebih berguna. Bisa angkut logistik, dokter, dan obat ke pulau terpencil. Drone juga makin relevan. Lebih murah. Lebih fleksibel.

Kapal induk tanpa jet tempur tetap berarti. Bahkan lebih cocok untuk kita. Sepertinya 

Bayangkan skenario nyata

Topan menghantam Filipina. Kapal induk Indonesia merapat. Dari dek Garibaldi, helikopter hilir-mudik. Bantuan diturunkan. Tim medis bekerja di ruang darurat.

Atau tsunami mengguncang Pasifik. Garibaldi jadi gudang logistik terapung. Jadi pusat komando. Itu bukan perang. Itu diplomasi halus yang sangat strategis

Dampaknya ke dalam negeri juga tidak kecil. Radar harus diperbarui. Sensor di-upgrade. Sistem peperangan elektronik dimodernisasi. Itu peluang transfer teknologi.

PT PAL bisa belajar integrasi kapal induk. Kru dek penerbangan dilatih. Teknisi naik kelas. Dokter militer belajar sistem medis terapung. Operator drone terbiasa dengan standar baru.

Infrastruktur pun dipaksa ikut berubah. Dermaga diperpanjang. Gudang logistik diperbesar. Jalur bahan bakar diperbaiki. Semua itu berarti investasi baru. Ekonomi kota-kota pelabuhan ikut bergerak.

Satu kapal bisa memaksa seluruh sistem pertahanan bergeser. Kalau jadi. 

Apakah mahal? Ya.

India jadi contoh. Kapal induk Admiral Gorshkov diubah jadi INS Vikramaditya. Kontrak 2004 sekitar 974 juta dolar. Pada 2010 membengkak jadi 2,35 miliar dolar. Baru siap beberapa tahun kemudian. Itu baru akuisisi dan refit.

NS Vikramaditya | Indian Navy
info gambar

Untuk operasional, Royal Navy (Inggris) menghitung biaya satu kapal kelas Queen Elizabeth: 96 juta pound per tahun hanya untuk kapalnya. Belum pesawat. Belum kru udara.

Satu keputusan “kapal induk” bisa menyeret APBN puluhan tahun.

Apakah rumit? Juga ya.

Refit kapal induk itu seperti merakit ulang pabrik berjalan. Sea trial Vikramaditya 2012 kacau karena boiler rusak. Tujuh dari delapan unit bermasalah. Kecepatan tidak tembus. Material pelapis panas harus diganti. Jadwal mundur lagi.

Artinya, bukan hanya beli kapal. Tapi juga membeli kurva belajar: keselamatan dek penerbangan, prosedur bahan bakar, rantai pasok suku cadang, pelatihan kru. Satu kesalahan kecil bisa bikin kapal parkir berbulan-bulan.

Apakah bisa gagal? Sangat bisa.

Thailand sudah merasakannya. HTMS Chakri Naruebet kehilangan sayap tempurnya sejak 2006, ketika armada Harrier pensiun. Status kapal induk praktis berubah jadi kapal helikopter yang lebih sering di dermaga.

NAe São Paulo | By Rob Schleiffert - Sao Paulo at sea, CC BY-SA 2.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=31870148
info gambar

Brasil lebih pahit. NAe São Paulo penuh masalah. Akhirnya didekomisi. Lalu ditenggelamkan pada Februari 2023 karena biaya perbaikan membengkak.

Rusia lebih dramatis. Admiral Kuznetsov masuk galangan sejak 2017. Dermaga apung tenggelam. Crane menimpa dek. Beberapa kali kebakaran. Sampai sekarang belum juga kembali berlayar.

Kapal induk bisa jadi ikon. Bisa juga jadi lubang hitam anggaran.

Tentu benefitnya juga banyak. Terutama untuk diplomasi. 

Bayangkan Indonesia hadir di ASEAN Defence Ministers’ Meeting dengan kapal induk. Bukan sekadar pidato, tapi dek baja 180 meter. Lengkap dengan helikopter tercanggih di dek-nya. 

Dialog dengan India, Australia, Jepang berubah nadanya. Amerika dan Cina pun mungkin akan lebih serius menghitung Indonesia.

Garibaldi memang kapal tua. Tapi tua tidak selalu berarti tak berguna. Ia bisa jadi monumen terapung, namun ia bisa juga jadi titik balik sejarah Angkatan Laut RI. 

Semua tergantung: dikelola sungguhan atau sekadar gaya-gayaan. Asli, saya setengah tak percaya (bahkan sampai sekarang).

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.