Ada satu bab kecil dalam sejarah Orde Baru yang sering terlupakan: seorang menteri yang menolak fasilitas mewah, menolak promosi jabatan, menolak kekayaan. Namanya Ir. Sutami.
Ada sebuah cerita yang terus berulang tentang Ir. Sutami, Menteri Pekerjaan Umum 1973–1978: bahwa ia hidup sederhana, bahkan setelah kekuasaan tidak lagi melekat. Kisah itu beredar seperti legenda kecil: seorang menteri yang tak pernah membeli rumah mewah, yang memilih tinggal di tempat biasa, yang tidak pernah menganggap jabatannya sebagai tiket menuju kekayaan.
Tapi apa arti kesederhanaan hari ini? Apakah ia sekadar nostalgia, sebuah cerita moral untuk anak-anak sekolah yang dipaksa hafal nama-nama pahlawan? Ataukah ia adalah potret langka dari sebuah kejujuran yang sekarang nyaris punah?
Kesederhanaan Sutami seakan menjadi anomali. Ia tidak lahir dari ideologi hemat, bukan pula dari strategi pencitraan. Ia lebih mirip sebuah sikap eksistensial: memilih tidak menumpuk, tidak mengubah jabatan menjadi alat tukar. Seperti seorang pertapa di tengah hutan beton pembangunan.
Di masa itu, pembangunan berarti beton, jembatan, jalan, bendungan. Sutami ada di jantungnya. Tetapi ia tidak pernah menjadikan jantung itu mesin pencetak harta pribadi. Aneh, bukan? Di negeri di mana proyek adalah bahasa kedua para pejabat, ia justru menghapus dirinya dari kamus keuntungan.
Baca Selengkapnya