mbah satinem lupis dan 80 tahun indonesia merdeka - News | Good News From Indonesia 2025

Mbah Satinem, Lupis, dan 80 Tahun Indonesia Merdeka

Mbah Satinem, Lupis, dan 80 Tahun Indonesia Merdeka
images info

Saya yang tergolong manusia malam, butuh mengerahkan upaya keras untuk berjumpa dengan Mbah Satinem dan lupis yang dijualnya.

Saya yang telah membulatkan tekad sedemikian rupa, tetap saja tidak mampu untuk tertidur lelap lebih dini. Alhasil, saya pun tidur dan bangun di hari yang sama.

Langit masih menikmati gulita panjang ketika saya memutuskan untuk berangkat. Berbekal jaket yang biasa saya kenakan bersepeda motor di pagi atau siang bolong.

Dari Jalan Maguwo, di sisi timur Yogyakarta, saya menembus jembatan layang Janti. Lalu, lurus menempuh Jalan Adi Sutjipto yang kerap disebut Jalan Solo.

Remang sinar lampu jalanan adalah sahabat yang menemani saya hingga melewati perempatan Tugu. Saya mengambil jalan terus, ke arah barat, untuk menjumpai Jalan Diponegoro.

Lokasi telah ditandai, di trotoar yang terletak di ujung pertigaan ke selatan. Sebuah sudut yang dulunya saya kenali sebagai sebuah rumah makan Padang.

Perlahan, sepeda motor ini berhenti di tempat yang sekira aman ketika matahari telah terbit dan jalanan mulai ramai oleh pengendara.

Saya berjalan pelan, menapak pada trotoar. Dengan langkah kecil dan sabar. “Mbah Satinem belum tiba,” gumam saya perlahan untuk diri sendiri.

Sosok Endah Laras, Gemakan Musik Keroncong di Perayaan HUT RI ke-80

Belum genap pukul lima pagi. Hari masih berselimut remang. Namun, baru beberapa langkah, saya sudah menganggukkan kepala kepada orang saya jumpai.

Subuh hari berburu lupis Mbah Satinem di Yogyakarta | Sumber: Dok Ang Tek Khun
info gambar

Bukan Pengantre Pertama

Saya bukan orang pertama yang akan bertemu Mbah Satinem dan lupisnya. Ada dua perempuan sedang asyik bercakap akrab.

Saya memerhatikan, sepasang suami-istri pedagang angkringan sedang mempersiapkan dagangannya. Mereka mempersiapkan ini dan itu suasana dalam diam.

Sesaat, pasangan suami istri lain tiba di lokasi. Berjalan perlahan menuju tempat saya berdiri. Menilik perawakannya, mereka tidak lagi berusia muda.

Ketika kami bertukar sapa di keremangan. Dari kalimat pendek di atas, kemudian berkembang lebih dari itu. Saya bercakap panjang dengan sang suami.

Kemudian menjadi jelas, pasangan ini berasal Bantul. Cukup jauh untuk tiba di tengah kota. Pasangan ini bolehlah disebut sebagai pemburu kuliner tradisional yang otentik.

Keheningan kemudian pecah dengan suara sepeda motor ketika seorang pria tiba serta membawa turun barang yang dibawanya.

Lelaki tidak terlihat asing dengan lokasi kami. Dia kemudian sibuk mempersiapkan segala sesuatu di trotoar untuk keperluan berjualan.

Sejenak, dia menghampiri dua perempuan yang mendahului saya. Lalu, berjalan mendekati saya. Dengan ramah, lelaki itu memberikan nomor antrean bertuliskan angka dua.

Tanpa saya sadari, sepasang turis asing mendekat. Tidak bertanya apa-apa. Saya menduga, mereka belum fasih berbahasa Indonesia.

“Masih banyak turis asing yang ke sini?” tanya saya kepada bapak angkringan.

Bapak itu menjawab saya dengan mengangguk. "Kemarin banyak turis Malaysia, Mas," ujarnya.

Antrean nomor 2 saat membeli lupis Mbah Satinem | Sumber: Dok Ang Tek Khun
info gambar

Ketekunan yang Teruji Waktu

Beberapa saat kemudian, seorang perempuan muda dengan sepeda motornya tiba. Di belakangnya, mudah ditebak, dia adalah Mbah Satinem.

Hati saya mendadak girang. Lalu, merogoh saku. Mengeluarkan ponsel. Menunduk untuk memerhatikan layarnya. Pukul 05.16 WIB.

Sekitar jam seginilah perempuan yang telah berumur itu tiba di trotoar pertigaan ini. Dari sebuah media saya membaca, inilah rutinitas yang dilakukannya semenjak 1963.

Legenda Nyai Bagelen, Cerita Rakyat dari Jawa Tengah tentang Sosok Pemimpin Perempuan yang Bijaksana

Ketika itu, usianya sekitar 18 tahun. Jika dihitung berdasarkan kalender usia 80 tahun Indonesia telah merdeka, maka usia Mbah Satinem ini telah melewati angka 60 tahun.

Jika saya berjuang untuk tidur “sepagi” pukul 01.00 WIB dini hari, maka di sekitar jam itu Mbah Satinem telah bangun dan mulai memasak jualannya.

Ketekunan dalam sunyi selama puluhan tahun itu, tidak membuat wajah dan dirinya seterkenal kreator konten yang selama ini menjadikan diri dan lupis sebagai konten.

Sebagian besar orang belum berjumpa dengan diri saat menonton dia menghiasi layar melalui tayangan serial Street Food: Asia episode "Yogyakarta, Indonesia" di Netflix.

Turis asing berbaur dan sabar mengantre lupis Mbah Satinem | Sumber: Dok Ang Tek Khun
info gambar

Laku Sederhana Tanpa Banyak Tutur

Ketika tiba saatnya Mbah Satinem memulai hari sibuknya, saya mendekat. Di giliran nomor dua, saya memesan dua bungkus lupis dan satu yang campur.

Saya merogoh dompet dan membayar dengan harga tiga puluh ribu rupiah. Kemudian beringsut dari kerumunan. Namun, tidak segera membawa pulang lupis saya.

Dari jarak tidak terlampau jauh, saya melihat kerumunan itu. Mata saya menemukan beberapa turis asing. Sebagian kecil lagi, terlihat sebagai turis domestik.

Satu dua kali, bila “kangen” pada Mbah Satinem dan lupisnya, saya kembali ke sini. Trotoar ini sekaligus jadi titik kumpul saat saya mengikuti Gastronomi Walking Tour edisi Pasar Kranggan.

Hingga kini wajahnya masih segar dalam ingatan. Laku sederhana tanpa banyak tutur dalam mengolah lupis pesanan pembeli, terekam kuat dalam ingatan saya.

Dalam momen perayaan 80 tahun Indonesia merdeka, saya bertanya-tanya. Di depan wajah Mbah Satinem, dari mana saya bisa memungut kata-kata tak pantas untuk negeri ini?

#80CeritaBaikIndonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AT
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.