J.D. Legge dalam bukunya yang berjudul Sukarno: A Political Biography (1972) menuliskan secara rinci waktu-waktu kritis menjelang pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Disebutkan pada tanggal 15 Agustus 1945, Sukarno, Hatta, dan Soebardjo, kepala Biro Penelitian dari Kantor Penghubung Angkatan Laut Kerajaan Jepang di Jakarta, pergi ke kantor Jenderal Yamamoto—Gunseikan atau Panglima Militer—tapi beliau-beliau itu menemukan kantor sang panglima kosong. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk memastikan apakah Kerajaan Jepang sudah resmi menyerah kepada tentara Sekutu (Amerika Serikat). Maklum, tahun 1945 itu teknologi informasi masih sangat sederhana dan di masa perang sulit mencari informasi yang tepat.
Namun, pada pukul 22.00 malam, Sukarno di rumah kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, dikejutkan dengan suara ketukan pintu dari rombongan pemuda yang mewakili kelompok pemuda-pemuda di Jakarta. Para pemuda itu mendesak para tokoh bangsa memproklamasikan kemerdekaan tanpa restu penjajah Jepang. Lagian, menurut informasi rahasia dari gerakan bawah tanah yang mereka terima, mengonfirmasi bahwa Jepang sudah menyerah kepada Sekutu.
Para pemuda yang bergabung di berbagai kelompok—memang secara intens dan serius melakukan berbagai pertemuan. Kelompok pemuda itu ada yang dari kelompok mahasiswa kedokteran, dari Asrama Indonesia Merdeka, dan dari Asrama Menteng. Mereka sepakat mengirim delegasi bertemu Sukarno untuk mendesaknya memproklamasikan kemerdekaan tanpa harus minta persetujuan penjajah Jepang.
J.D. Legge menyebutkan bahwa terjadi perdebatan sengit antara Sukarno dan Wikana, perwakilan pemuda. Sukarno menganggap cara-cara para pemuda itu bisa menyebabkan pertumpahan darah karena Jepang bisa marah. Sukarno murka, "Jangan mengancam aku, ini leherku, bunuh aku sekarang, potong kepalaku. Kamu bisa membunuhku tapi aku tidak mau mengambil risiko adanya pertumpahan darah akibat cara-cara kamu itu."
Para pemuda tetap ngotot dan dalam pertemuan tengah malam dengan kolega mereka, yaitu Chairul Saleh dan Adam Malik, mereka sepakat cara yang tepat untuk memaksa Sukarno yaitu diculik. Lalu terjadilah penculikan antara jam empat dan lima pagi, dua mobil menjemput Sukarno bersama Fatmawati, istrinya, dan Guntur, putranya, di kediaman Pegangsaan Timur 56 dan setelah itu mereka menjemput Hatta. Mereka membawa kedua tokoh bangsa itu ke sebuah rumah kosong di desa Rengasdengklok. Dikabarkan para pemuda masih berdebat keras dengan Sukarno dan Hatta.
Setelah itu, mereka kembali ke Jakarta. Mereka berkumpul untuk membuat draf Proklamasi yang tidak perlu konsultasi dengan penguasa Jepang. Draf Proklamasi itu berisi pernyataan sederhana, berbeda dengan tuntutan para pemuda agar dimasukkan kalimat yang menuntut keras agar Jepang menyerahkan segala kekuasaannya.
Draf itu ditandatangani Sukarno-Hatta dan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi di depan rumah Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sukarno didampingi Hatta dan Letnan Latief dari pasukan PETA. Sang saka Merah Putih yang dijahit khusus untuk peristiwa ini oleh Ibu Fatmawati dikibarkan, dan hadirin menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan syahdu, dan pada detik itulah Indonesia merdeka.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News