Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,75 persen. Kebijakan ini menandai dimulainya siklus pelonggaran moneter setelah lebih dari setahun bersikap hati-hati.
Langkah ini sekaligus menunjukkan sinyal bahwa otoritas moneter kini lebih fokus pada percepatan pertumbuhan ekonomi.
Penurunan ini datang di saat kondisi makroekonomi Indonesia dinilai cukup kondusif, yakni inflasi rendah, nilai tukar rupiah stabil, dan cadangan devisa dalam posisi yang menguat.
Namun, di balik langkah ini, muncul pertanyaan. Apakah kebijakan ini akan memperkuat rupiah atau justru sebaliknya?
Peluang Besar di Tengah Stabilitas Ekonomi
Turunnya BI Rate menjadi 4,75 persen tidak hanya bertujuan menstimulasi pertumbuhan kredit, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di mata investor global.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menyebut bahwa pemotongan suku bunga ini adalah awal dari siklus pelonggaran yang lebih luas.
“Dengan inflasi rendah dan tekanan eksternal yang makin longgar, ruang pelonggaran masih terbuka lebar, bahkan bisa turun ke 4,5 persen tahun ini,” ungkapnya sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis.
Fakhrul menambahkan bahwa keputusan BI tidak diambil dalam ruang hampa. Konstelasi global yang berubah akibat perang dagang dan pergeseran aliran modal dunia menjadi faktor pendukung utama.
Kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat, menurutnya, memberi sinyal kuat akan reposisi strategis Indonesia dalam sistem keuangan global.
Rupiah Berpotensi Menguat, Tapi Masih Ada Risiko
Salah satu ekspektasi dari penurunan suku bunga adalah penguatan rupiah. Fakhrul menilai bahwa dengan menurunnya minat negara surplus untuk membeli US Treasury akibat konflik geopolitik, akan terjadi rotasi cadangan devisa global.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia berpeluang menjadi tujuan baru penempatan aset.
“Rupiah bisa menguat ke level Rp15.500 per dolar AS. Ini bukan euforia, tapi strategi makro yang didukung data dan realitas global baru,” jelasnya.
Dari sisi domestik, angka inflasi tahunan per Juni 2025 hanya 1,87 persen, terendah dalam lima tahun terakhir. Cadangan devisa juga menembus rekor USD153 miliar. Kombinasi faktor-faktor ini memperkuat ruang bagi Indonesia untuk ekspansi fiskal dan moneter lebih agresif.
Dampak bagi Dunia Usaha dan Pasar
Penurunan suku bunga BI tentu membawa implikasi luas. Bagi pelaku usaha, langkah ini membuka peluang penurunan cost of fund, mendorong ekspansi investasi, dan meningkatkan permintaan domestik. Fakhrul menekankan bahwa dunia usaha harus segera merespons kondisi ini dengan aksi nyata.
“Kalau kita tidak ekspansi sekarang, kita akan kehilangan momentum. Peluang seperti ini tidak datang dua kali dalam siklus global,” katanya.
Sektor yang kemungkinan terdampak langsung antara lain: manufaktur, properti, konstruksi, hingga teknologi. Pelaku pasar juga melihat potensi penguatan indeks saham (IHSG) serta naiknya daya saing ekspor karena rupiah yang lebih stabil.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News