Kalau tubuh saya ini diibaratkan kendaraan, dia sudah kategori truk ekspedisi lintas provinsi yang sopirnya nggak pernah ganti shift. Bukan mobil keluarga yang parkir manis di garasi, dicuci setiap Minggu pagi, dan cuma dipakai ke kondangan.
Dalam 2,5 minggu terakhir, saya traveling tanpa henti. Rutenya bikin peta Google pusing. Bahkan kalau saya ketik di Google Maps, sistemnya mungkin akan bilang: "Beneran, Mas?"
Coba bayangkan: Surabaya → Sorong → Makassar → Jakarta → Kuala Lumpur → Jakarta lagi → Karawang → Surabaya → Jogja → besok Bali.
Kalau ini rute paket online, kurirnya pasti sudah cuti seminggu. Kalau ini pesawat, maskapainya pasti minta grounding untuk perawatan. Tapi ini tubuh saya, dan selama ini dia jarang ngambek. Alasannya sederhana: saya punya satu ritual maintenance yang selalu saya jalankan… kecuali kali ini. Dan di situlah masalah dimulai.
Montir Tubuh dari Tuban
Mas Robi itu tukang pijat saya di Surabaya. Orangnya kecil. Pendiam. Anak petani di Tuban, Jawa Timur. Kulitnya legam karena matahari sawah. Kalau melihatnya di jalan, Anda mungkin mengira dia tukang servis kipas angin atau teknisi pompa air.
Tapi jangan salah. Begitu dia mulai ritual memijatnya, semua dugaan itu hilang. Tangan Mas Robi seperti punya GPS bawaan: begitu menyentuh punggung, atau kaki, atau lengan, dia langsung tahu titik mana yang kaku, urat mana yang tegang, bagian mana yang harus dipijat pelan, dan bagian mana yang harus dihajar sampai saya meringis. Tekanannya pas. Gerakannya mantap. Tidak terburu-buru, tapi juga tidak pelan.
Dan kalau dia sudah mengeluarkan koin dari dompet lusuhnya, saya tahu waktunya kerokan. Dan saya pun bersiap meringis. Dia akan mengoleskan minyak kayu putih, lalu mulai menyapu kulit saya dengan koin keroknya tanpa ampun. Dia takkan berhenti meski saya kesakitan betulan. Tapi itu tandanya dia mengerok di sisi tubuh yang benar, titik yang memang “tersumbat” atau penuh asam laktat. Sakitnya itu aneh: seperti pintu terkunci yang dibuka dari dalam. Begitu selesai, rasa ringan itu datang perlahan, lalu tubuh terasa seperti habis di-reset.
Kerokan dalam Budaya Jawa
Bagi saya, kerokan bukan cuma tradisi kampung. Bukan juga “obat masuk angin” murahan. Ini ritual maintenance, servis berkala yang membuat tubuh tahan banting menghadapi jadwal gila. Ibarat ganti oli sebelum turing jauh. Kalau dilewatkan, mesin bisa panas di tengah jalan, rem blong di tanjakan, atau mogok di tikungan paling tidak tepat.
Kerokan ini punya sejarah panjang. Di Tiongkok, ia disebut gua sha, digunakan sejak Dinasti Ming. Dibawa ke Asia Tenggara lewat jalur perdagangan dan perantauan, lalu di Jawa menyatu menjadi kebiasaan rumah tangga. Bedanya, di Jawa ia tidak sekadar teknik pengobatan — ia menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Sejak dulu, orang Jawa punya cara merawat tubuh yang sederhana tapi efektif. Kerokan salah satunya. Di desa saya dulu, kalau ada yang demam atau pusing, ibu-ibu langsung berkata: “Sini, tak kerok.” Tidak ada yang tanya “Mana jurnalnya?” atau “Apakah ini bukti ilmiah?” Yang penting sembuh, lalu bisa kembali ke sawah, ladang, atau pasar.
Kerokan dilakukan sambil ngobrol, sambil bercanda, sambil minum teh hangat. Ia bukan cuma soal mengeluarkan “angin” dari tubuh, tapi juga mengikat hubungan sosial, antara ibu dan anak, tetangga dengan tetangga, bahkan menantu dengan mertua.
Bagi orang Jawa, kerokan adalah contoh nyata falsafah urip iku urup, hidup itu harus memberi manfaat dan kehangatan bagi orang lain. Kerokan bukan sekadar “mengobati diri sendiri”, tapi juga bentuk perhatian, kepedulian, dan gotong royong yang diwujudkan lewat sentuhan tangan. Ia selaras dengan alon-alon asal kelakon: tidak tergesa-gesa, tapi pasti membuat tubuh kembali bugar.
Orang Jawa mengenal kerokan jauh sebelum istilah self-care menjadi tren di majalah gaya hidup. Dan itu membuat saya bangga. Karena di tengah derasnya arus modernisasi, tradisi ini tetap bertahan. Ia tidak perlu ruang pijat mewah atau terapis bersertifikat internasional. Yang dibutuhkan hanya tangan terampil, sedikit minyak, dan koin seribuan (paling halus buat kerokan, sehingga perihnya berkurang).
Baru sekarang saya tahu, ternyata jurnalnya memang ada. Sebuah riset tahun 2024 mencatat, orang yang dikerok melaporkan pusing, meriang, dan pegalnya berkurang. Studi lain menyebut kerokan bisa meningkatkan antioksidan, melancarkan sirkulasi darah, dan memicu kekebalan tubuh. Semua itu biayanya… nol rupiah, kalau punya koin dan minyak.
Kesombongan yang Dibayar Mahal
Sayangnya, kali ini saya sombong. Dua minggu lebih saya nonstop bepergian. Dari Surabaya langsung ke berbagai kota, tanpa singgah ke “bengkel” Mas Robi. Tidak ada pijat. Tidak ada kerokan. Saya pikir, “Ah, badan saya kan sudah veteran turing jarak jauh. Pasti kuat.”
Di Makassar, saya cuma transit. Nggak sempat apa-apa. Bahkan untuk sekadar duduk santai pun tidak ada waktu — apalagi meminta kerokan. Di Jakarta, hidung mulai mampet. Saya menghibur diri: “Ah, ini paling cuma alergi AC hotel atau kopi yang terlalu pahit.”
Lima hari di Kuala Lumpur, hari terakhir saya resmi tumbang. Badan terasa dingin, menggigil, dan selera makan hilang begitu saja. Makanan enak di meja hanya jadi pajangan.
Lalu Karawang. Di sini saya masuk “mode darurat”. Badan panas, kepala berat. Semua rapat dan janji tetap saya jalani, tapi rasanya seperti berjalan sambil membawa beban yang tak kelihatan. Lebih parahnya, setiap orang yang saya temui berkata, “Waduh, kok pucat, Pak?” — dan itu lebih menusuk daripada rasa sakitnya.
Begitu akhirnya sampai Surabaya, saya sadar: kalau ini terus dibiarkan, saya akan makin jatuh. Jadi sebelum berangkat lagi ke Jogja dan Bali, saya langsung emergency call ke Mas Robi.
Dia datang pagi itu. Pendiam seperti biasa. Tidak banyak tanya, langsung kerja. Satu setengah jam di tangan Mas Robi — plus garis-garis merah kerokan di punggung — rasanya seperti tubuh saya di-reset kembali ke pengaturan awal. Badan hangat, kepala enteng, dan yang paling penting… saya kembali merasa manusia.
Sabuk Pengaman Perjalanan
Orang bilang, kebiasaan baik itu seperti sabuk pengaman. Kadang terasa mengganggu, tapi kalau tidak dipakai saat kecelakaan, kita menyesal. Kerokan bagi saya adalah sabuk pengaman perjalanan. Karena satu hal sudah terbukti di hidup saya: perjalanan tanpa kerokan Mas Robi, ibarat motor tua dipakai turing tanpa ganti oli. Awalnya gagah, ujungnya mogok.
Kapok saya. Tidak dikerok.
===
Referensi
- Chen, Hong, et al. “Effects of Gua Sha Therapy on the Pain, Function, and Quality of Life of Patients with Chronic Neck Pain: A Randomized Controlled Trial.” Medicine, 2021. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8483130/
- Siti, Sarah, et al. “Analysis of the Effectiveness of Kerokan (Coining) to Relieve Dizziness and Colds in Parungponteng District.” ResearchGate, 2024. https://www.researchgate.net/publication/378632869_Analysis_of_the_Effectiveness_of_kerokan_Coining_to_Relieve_Dizziness_and_Colds_in_Parungponteng_District
- Afifah, Nur, and Rini Noviyanti. “Kerokan Therapy as a Health Maintenance Effort in the Pandemic Era.” Science Midwifery, 2022. https://midwifery.iocspublisher.org/index.php/midwifery/article/view/806
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News