Ahmad Musawwir Nasar atau akrab disapa Musa adalah aktivis yang fokus memberi perhatiannya ke pendidikan Indonesia. Ia aktif mengamati dan mengkritisi sistem pendidikan di tanah air dengan masuk ke pelosok untuk mempelajari sekaligus membantu mencari solusi lewat ide-idenya.
Sistem pendidikan memang menjadi PR besar bagi bangsa Indonesia dari masa ke masa. Kurikulum yang sering berganti adalah contoh masalah yang seolah sulit terpecahkan dari para pemangku jabatan.
Sebagai pemuda yang memiliki visi, Musa jelas punya harapan besar terhadap dunia pendidikan Indonesia. Ketika diajak berandai merancang ulang sistem pendidikan Indonesia oleh Good News From Indonesia, Musa punya jawabannya yakni mengubah tingkat kesulitan masuk jurusan pendidikan atau keguruan.
Masuk Jurusan Pendidikan Harus Ketat
Di mata Musa, masuk jurusan pendidikan begitu mudah. Beberapa di antara mereka sadar salah jurusan dan beberapa lagi tetap menjalani perkuliahan sampai lulus serta mendapat gelar sarjana. Setelah lulus, tenaga pendidik pun jadi melimpah tapi tidak semua menjadi pengajar sesuai dengan jurusannya.
Musa pun berandai. Jika bisa mengubah sistem pendidikan, ia ingin seleksi masuk jurusannya diperketat agar tercipta pengajar yang memang berkeinginan terjun di dunia pendidikan Indonesia.
“Kalau dikasihkan kesempatan aku mau jurusan pendidikan itu harus seketat orang masuk ke kedokteran,” ucap Musa kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Dari seleksi yang diperketat, tentu ada kualitas yang terbangun setelahnya. Musa percaya jika hal itu juga akan berimbas ke program peningkatan kapasitas para pengajar supaya kelak menjadi lebih kompeten.
“Seleksi masuk universitas nantinya menghasilkan sarjana-sarjana pendidikan dibuat sebagus mungkin. Paling tidak menjamin setelah lulus tidak perlu lagi mengeluarkan dana pelatihan peningkatan kapasitas karena memang sudah digembleng empat tahun. Karena lulusan sarjana pendidikan selalu dianggap sebelah mata, termasuk aku,” kata Musa lagi.
Guru Perlu Tanda Jasa
Selain sistem pendidikan yang tidak konsisten dan tidak optimal, Musa juga mengkritisi kesejahteraan guru. Menurutnya narasi “guru pahlawan tanpa tanda jasa” malah dirasa memberatkan yang membuat guru jauh dari kata sejahtera dalam menghidupi dirinya atau keluarganya sendiri.
Musa tidak terlahir di perkotaan di mana segala akses akses pendidikan dari pemerintah begitu mudah didapatkan. Ia berasal dari Kepulauan Selayar, sebuah kabupaten yang terletak di selatan Teluk Bone, Sulawesi Selatan.
Berlatar belakang anak kepulauan membuatnya merasakan banyak keterbatasan dan ketimpangan akan tidak meratanya sistem pendidikan. Dari banyaknya ketimpangan itulah Musa sadar akan nasib guru-guru yang tidak sejahtera hidupnya.
Maka dari itu, Musa merasa keberatan dengan narasi lawas yang diturun-temurunkan yaitu “guru pahlawan tanpa tanda jasa”. Demi mengenyahkan narasi itu, ia kemudian membuat narasi baru sebagai pentingnya memerhatikan kesejahteraan guru, yakni “guru perlu tanda jasa”.
“Narasi dari awal sampai sebelum penutup itu pure dari pengalaman sendiri dan hasil diskusi ataupun baca buku,” ujar Musa.
Musa juga menyebut pertemuannya dengan Abdur Arsyad memunculkan narasi itu. Komika asal Larantuka tersebut memang vokal dengan adanya kesenjangan pendidikan yang ada di Indonesia, terutama daerah. Musa dan kawan-kawannya di Yayasan Semua Murid Semua Guru memberi ide soal ketimpangan sistem pendidikan dan dari situlah narasi akan kepedulian guru itu lahir.
“Hasil ngobrol dengan Kak Abdur Arsyad, dia punya satu special show stand up comedy akhirnya dijadikan tema pahlawan perlu tanda jasa. Tidak spesifik Musa, waktu itu kebetulan saya bergerak di Yayasan Semua Murid Semua Gudu dan termasuk yang memberikan ide-ide soal special show-nya Kak Abdur. Jadi saling terkait,” ujar Musa.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News