Ahmad Musawwir Nasar alias Musa adalah aktivis yang fokus memberi perhatiannya ke pendidikan Indonesia. Ia kerap aktif mengamati dan mengkritisi sistem pendidikan di tanah air dengan masuk ke daerah terpencil. Selain untuk mempelajari, Musa turut membantu mencari solusi lewat pengajaran dan ide-ide segarnya.
Sistem pendidikan memang menjadi PR besar bagi bangsa Indonesia dari masa ke masa. Kurikulum yang sering berganti adalah contoh masalah yang seolah sulit terpecahkan dari para pemangku jabatan.
Keluar masuk daerah pelosok dari dulu hingga kini menjadi hal biasa bagi Musa. Lewat aktivitasnya itu pun ia mendapat pengalaman pahit melihat besarnya ketimpangan dari sistem pendidikan di Indonesia. Menyambangi Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, menurutnya adalah salah satu pengalaman membekas karena di situlah para anak-anak sekolahan kesulitan untuk sekadar pulang-pergi ke tempat mereka belajar.
Maros
Kepedulian Musa akan sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak duduk di bangku sekolah. Namun, untuk turun ke lapangan ia baru memulainya ketika masuk kuliah.
“Sebenarnya ketertarikannya (peduli dengan sistem pendidikan) sejak SMA, cuma baru mulai berani pas kuliah,” ucap Musa kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Pendirian sekolah itu menurut Musa terpicu dari pengalamannya mengunjungi Kabupaten Maros. Anak-anak sekolah sulit untuk sekadar mengenyam pendidikan karena jauhnya sekolah ditambah medannya yang penuh rintangan.
“Maros itu kan lumayan gede. Ada satu sekolah, satu desa yang itu kalau mau jalan ke kota kita harus tiga jam kalau naik motor. Tapi tergantung sungainya. Kalau sungainya bisa dilewati pakai motor berarti naik motor, kalau enggak berarti cuma parkir jalan ke desa,”
Musa bersama kawan-kawannya yang memerhatikan pendidikan pun tergerak memberi bantuan. Sekolah pun dibangun untuk memberi bantuan ke anak-anak yang kesulitan menjangkau sekolahnya yang jauh. Arsitekturnya berupa rumah panggung, rumah khas yang biasa berdiri di wilayah Sulawesi.
“Waktu itu ada namanya Sekolah Kolong Project. Bukan lagi tidak ada persoalan gurunya, lebih tidak ada sekolahnya. Jadi kawan-kawan membuat gerakan bikin sekolah, proses pembelajaran. Sekolahnya itu di rumah panggung, diberi nama Sekolah Kolong Project. Kawan-kawan mengajar di sana,” kata Musa yang juga menyebut proyek sekolah itu sudah bantuan dari influencer salah satunya istri Fiersa Besari, Aqia Nurfadla.
Guru Perlu Tanda Jasa
Musa sendiri bukan anak kota yang merasakan mudahnya akses pendidikan dari pemerintah. Ia berasal dari Kepulauan Selayar, sebuah kabupaten yang terletak di selatan Teluk Bone, Sulawesi Selatan.
Berlatar belakang anak kepulauan membuatnya merasakan banyak keterbatasan dan ketimpangan akan tidak meratanya sistem pendidikan. Dari banyaknya ketimpangan itulah Musa sadar akan nasib guru-guru yang tidak sejahtera hidupnya.
Maka dari itu, Musa merasa keberatan dengan narasi lawas yang diturun-temurunkan yaitu “guru pahlawan tanpa tanda jasa”. Demi mengenyahkan narasi itu, ia kemudian membuat narasi baru sebagai pentingnya memerhatikan kesejahteraan guru, yakni “guru perlu tanda jasa”.
“Narasi dari awal sampai sebelum penutup itu pure dari pengalaman sendiri dan hasil diskusi ataupun baca buku,” ujar Musa.
Musa juga menyebut pertemuannya dengan Abdur Arsyad memunculkan narasi itu. Komika asal Larantuka tersebut memang vokal dengan adanya kesenjangan pendidikan yang ada di Indonesia, terutama daerah. Musa dan kawan-kawannya di Yayasan Semua Murid Semua Guru memberi ide soal ketimpangan sistem pendidikan dan dari situlah narasi akan kepedulian guru itu lahir.
“Hasil ngobrol dengan Kak Abdur Arsyad, dia punya satu special show stand up comedy akhirnya dijadikan tema pahlawan perlu tanda jasa. Tidak spesifik Musa, waktu itu kebetulan saya bergerak di Yayasan Semua Murid Semua Gudu dan termasuk yang memberikan ide-ide soal special show-nya Kak Abdur. Jadi saling terkait,” ujar Musa.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News