Pacu jalur merupakan alat transportasi utama masyarakat di sepanjang Sungai Kuantan, Riau sejak awal abad 17. Pada perkembangannya, pacu jalur lalu menjadi ajang perlombaan untuk memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) atau kelahiran Ratu Wihelmina.
Saat ini, pacu jalur menjadi ikon wisata bagi masyarakat di sepanjang Sungai Kuantan, Riau. Terutama setelah tarian aura farming yang viral dilakukan oleh beberapa selebritis dan tokoh dunia.
Sejarah awal mula pacu jalur
Pacu jalur pada awalnya merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, Riau pada awal abad 17. Ketika itu memang belum berkembang transportasi darat.
Jalur itu digunakan untuk alat angkut dan transportasi penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut orang yang mencapai sekitar 40 orang.
“Hampir dipastikan Pacu Jalur sudah dikenal penduduk daerah ini paling kurang tahun 1900 dan dalam tahun itu yang dipacukan penduduk kebanyakan perahu-perahu besar yang biasa digunakan untuk alat transportasi kebutuhan sehari-hari,” jelas Hasbullah dalam Pacu Jalur dan Solidaritas Sosial Masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi.
Melahirkan tradisi pacu jalur
Kegiatan pacu jalur kemudian menjadi kegiatan yang paling disenangi masyarakat, khususnya di kecamatan di wilayah Rantau Kuantan. Hampir setiap kampung atau desa memiliki jalur.
Setiap kampung dibagi lagi atas beberapa bagian yang dulu disebut sebagai banjar. Banjar itu biasanya juga mempunyai sebuah jalur, sehingga setiap kampung dapat memiliki dua sampai tiga buah jalur.
“Dengan demikian, jalur merupakan milik bersama masyarakat banjar (dalam kesatuan yang lebih kecil) dan milik masyarakat kampung (dalam satu kesatuan masyarakat yang lebih besar),” papar Hasbullah.
Sehubungan dengan panjang dan besarnya sebuah jalur, karena itu membutuhkan sejumlah orang dalam pembuatannya. Hal ini membuat sebuah jalur tidak mungkin menjadi milik pribadi, tetapi merupakan suatu benda budaya yang melibatkan seluruh anggota masyarakat di suatu kampung.
“Di samping tenaga/fisik dalam pembuatan jalur ini juga diperlukan keterlibatan unsur spiritual, sebab tanpa partisipasi dua hal atau unsur tersebut, jalur tidak akan dapat muncul sebagai wujud karya masyarakat yang memuaskan dalam arti utuh dalam segala aspeknya,” ucapnya.
Perlombaan pacu jalur
Pacu jalur lambat laun menjadi perlombaan yang diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Batang Kuantan. Kegiatan ini untuk memperingati dan merayakan berbagai hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad, Hari Raya Idul Fitri, memperingati tahun baru Islam (1 Muharram), dan sebagainya.
“Ketika itu beberapa kampung tidak memberi hadiah bagi jalur yang menang. Namun selesai pacu, biasanya diakhiri dengan makan bersama makanan tradisional setempat seperti: konji, godok, lopek, paniaram, lida kambiang, buah golek, buah malako, dan lain sebagainya,”
ucapnya.
Ketika masih dikuasai oleh pemuka adat, pemenang pacu jalur mendapatkan sebuah hadiah yaitu marewa yang merupakan bendera berbentuk segi tiga yang terbuat dari kain berwarna-warni dengan renda-renda pada bagian pinggirnya.
Setelah Belanda menguasai wilayah Rantau Kuantan, pacu jalur digunakan untuk memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) atau kelahiran Ratu Wihelmina. Karena hanya diselenggarakan satu tahun sekali, maka pesta ini dipandang oleh penduduk Rantau Kuantan sebagai datangnya tahun baru.
“Itulah sebabnya sampai saat ini masih ada masyarakat yang menyebut kegiatan ini sebagai Tambaru,” jelasnya.
Pacu Jalur di Era Modern: Dari Tradisi ke Daya Tarik Wisata
Memasuki era modern, Pacu Jalur berkembang menjadi warisan budaya tak benda dan atraksi pariwisata unggulan di Provinsi Riau. Setiap tahunnya, Festival Pacu Jalur diadakan secara besar-besaran di Teluk Kuantan, pusat Kabupaten Kuantan Singingi.
Perahu-perahu jalur yang dihias indah dan dikayuh oleh puluhan pemuda kampung beradu kecepatan di sungai dengan iringan sorak-sorai penonton. Acara ini menjadi puncak perayaan budaya Melayu pesisir, sekaligus menarik wisatawan domestik dan mancanegara untuk datang menyaksikan semangat kolektif dan keindahan tradisi lokal.
Pacu Jalur bukan hanya soal kecepatan atau perlombaan, tetapi tentang bagaimana masyarakat menjaga warisan nenek moyang, merawat identitas budaya, dan terus menghidupkan semangat gotong royong di tengah arus modernisasi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News