esensi dari pekan raya jakarta mengapa prj harus tetap ada - News | Good News From Indonesia 2025

Esensi dari Pekan Raya Jakarta, Mengapa PRJ Harus Tetap Ada?

Esensi dari Pekan Raya Jakarta, Mengapa PRJ Harus Tetap Ada?
images info

Di tengah perkembangan pesat Jakarta yang terus berubah, Pekan Raya Jakarta (PRJ) tetap menjadi salah satu ruang yang konsisten hadir di antara dinamika kehidupan digital. Pekan Raya Jakarta (PRJ) setiap tahunnya tidak hanya berfungsi sebagai ajang pameran dan hiburan, tetapi juga menjadi ruang bersama yang mempertemukan warga kota dalam pengalaman kebersamaan.

Di sinilah identitas kolektif Jakarta tercermin sekaligus menjadi refleksi arah perkembangan menuju kota global. Latar sejarahnya yang panjang, tentunya PRJ menyimpan jejak masa lalu yang masih memiliki makna hingga masa kini, sekaligus terus beradaptasi dengan dinamika zaman yang terus berubah.

Sejarah PRJ bukan sekadar cerita tentang bazar atau konser musik. Jejak awalnya dapat ditemukan sejak tahun 1898, ketika Pasar Gambir pertama kali digelar untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina Belanda.

Pasar malam ini, yang berlokasi di Lapangan Merdeka (kini Monas), menjadi cikal bakal dari pameran rakyat yang kelak menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Jakarta. Setelah sempat vakum di masa pendudukan Jepang dan bergeliat kembali pasca kemerdekaan, Gubernur Ali Sadikin meresmikan Djakarta Fair sebagai perayaan ulang tahun kota yang baru dan modern pada tahun 1968.

Djakarta Fair pertama yang diresmikan oleh Presiden Soeharto kala itu langsung menarik lebih dari satu juta pengunjung, sebuah angka fantastis pada zamannya.

Tahun 1992, PRJ resmi berpindah ke JIExpo Kemayoran, meninggalkan Monas yang tak lagi mampu menampung lonjakan pengunjung dan peserta. Di lokasi barunya, PRJ berevolusi menjadi salah satu festival multiproduk terbesar di Asia Tenggara.

Setiap tahunnya, ribuan tenant dari berbagai sektor seperti; otomotif, kuliner, fashion, teknologi, hingga UMKM yang meramaikan arena pameran selama lebih dari sebulan penuh. Konser musik, pertunjukan budaya, wahana permainan anak, hingga bazar murah tumpah ruah dalam satu ruang bersama. 

Namun seperti kota yang menjadi rumahnya, tentunya PRJ tidak terlepas dari berbagai “tantangan”. Tahun ini, kembali muncul sorotan dari berbagai pihak terkait keamanan dan kenyamanan pengunjung. Insiden pencopetan menjadi isu yang menonjol, mulai dari penyobekan tas dengan silet hingga dompet yang raib dalam keramaian.

Banyak pengunjung mendesak peningkatan pengamanan, karena merasa pengalaman berkunjung terganggu oleh rasa cemas. Di sisi lain, kemacetan di sekitar area JIExpo Kemayoran, terutama di akhir pekan dan malam hari juga menjadi keluhan setiap tahun.

Lalu lintas tersendat di Jalan Benyamin Sueb bahkan harus ditangani langsung oleh aparat kepolisian, yang menerapkan pengalihan arus dan patroli lalu lintas untuk mengurai kepadatan.

Polemik lain muncul dari sisi harga tiket dan kesenjangan antara nilai “pesta rakyat” dengan realitasnya. Beberapa pihak menilai PRJ kini terlalu komersial. Ruang bagi seniman lokal dan budaya Betawi seolah tergeser oleh panggung besar brand-brand ternama.

Tiket masuk, harga makanan, tarif parkir dan wahana membuat sebagian warga merasa PRJ kini lebih ramah pada kelas menengah ke atas daripada rakyat kecil.

Meski tak lepas dari berbagai kritik, satu hal yang tak terbantahkan adalah bahwa PRJ merupakan bagian dari warisan kota yang tak bisa begitu saja dihilangkan. Lebih dari sekadar agenda tahunan, PRJ telah menjelma menjadi institusi budaya yang merepresentasikan identitas Jakarta. 

Di tengah arus globalisasi yang kian beragam, PRJ tetap menjadi salah satu ruang yang mempertemukan berbagai lapisan masyarakat, baik dari sisi sosial, budaya, maupun ekonomi dalam semangat kebersamaan.

PRJ memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Melalui event besar ini, ratusan pelaku UMKM mendapat kesempatan untuk memperkenalkan produknya kepada ribuan hingga jutaan pengunjung dari berbagai daerah. PRJ menjadi wadah yang memungkinkan usaha kecil dan menengah tampil sejajar dengan merek-merek besar, membuka akses ke pasar yang lebih luas, serta memperkuat jaringan bisnis mereka.

Tahun ini, Pekan Raya Jakarta di tutup dengan capaian yang membanggakan. Di lansir dari instagram Pemprov DKI Jakarta, PRJ 2025 dikunjungi hampir enam juta pengunjung sejak dibuka mulai dari 19 Juni lalu, dan berhasil mencatat total transaksi hingga Rp7,3 triliun.

Hal ini menandakan bahwa PRJ mampu menjadi penggerak ekonomi yang cukup masif. Di tengah persaingan dunia digital, PRJ tetap menjadi ruang fisik yang juga memberi tempat bagi pertemuan langsung antara masyarakat dengan produk lokal yang tak kalah kualitasnya.

PRJ bukan sekadar agenda tahunan yang rutin digelar, melainkan ruang bersama yang telah menjadi bagian dari identitas kota Jakarta. Agar keberadaannya tetap bermakna, tentunya PRJ perlu mengalami pembaruan.

Pengelolaan yang mengedepankan nilai inklusif dan keberlanjutan menjadi kunci agar PRJ tidak kehilangan rohnya. Penataan ulang zona pameran yang memberikan ruang lebih adil bagi pelaku UMKM, penambahan program seni dan budaya lokal, serta penyesuaian harga tiket agar lebih terjangkau adalah beberapa langkah utama yang mungkin dapat diambil.

Selain itu, peningkatan akses transportasi umum menuju lokasi acara dan penerapan sistem keamanan berbasis teknologi juga krusial untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan pengunjung.

PRJ memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai festival kota yang berorientasi pada prinsip keberlanjutan dan peduli lingkungan. Misalnya, dengan pemakaian material daur ulang, manajemen sampah yang efisien, hingga edukasi publik tentang keberlanjutan bisa menjadi bagian dari pengalaman PRJ yang lebih visioner.

Jika dikemas dengan baik, PRJ dapat menjadi contoh bagaimana tradisi dan inovasi berjalan berdampingan, di mana sebuah pameran rakyat masa depan yang tetap berpijak pada nilai-nilai lokal.

Pekan Raya Jakarta bukan hanya tentang nostalgia. Ia menunjukkan bahwa Jakarta bukan semata tempat “mengadu nasib”, melainkan ruang untuk tumbuh bersama. Di tengah pergerakan zaman yang serba cepat, PRJ memberi kita jeda untuk sedikit melambat.

Mengajak kita untuk berkumpul, melihat kembali apa yang pernah kita rayakan, dan membayangkan bersama apa yang bisa kita bangun ke depan. 

Selama Jakarta terus hidup, PRJ harus tetap ada. Bukan sebagai ritual kosong, melainkan sebagai ruang publik yang terus diperbarui agar generasi mendatang pun tahu, bahwa Jakarta masih menyediakan ruang yang mempertemukan kenangan, kebanggaan, dan harapan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BL
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.