dentuman kapal hitam yang mengakhiri tidur panjang jepang - News | Good News From Indonesia 2025

Dentuman Kapal Hitam yang Mengakhiri Tidur Panjang Jepang

Dentuman Kapal Hitam yang Mengakhiri Tidur Panjang Jepang
images info

Pada pagi Rabu, 8 Juli 1853, empat kapal Angkatan Laut Amerika Serikat, dua kapal uap dan dua kapal layar berwarna hitam legam, berlayar masuk ke Teluk Edo, Jepang. Di bawah komando Komodor Matthew Perry, armada itu merapat dengan demonstrasi kekuatan yang tidak main-main: skuadron marinir bersenjata lengkap diturunkan, dan salah satu kapal secara dramatis diposisikan sedekat mungkin ke pelabuhan agar bisa dilihat banyak orang Jepang.

Perry membawa surat dari Presiden AS saat itu, Millard Fillmore, yang menuntut Jepang membuka pelabuhan bagi perdagangan Amerika dan negara-negara Barat. Di balik misi diplomatik ini, tersembunyi tekanan militer yang nyata. Jepang, yang selama lebih dari dua abad menjalankan kebijakan isolasionis (sakoku), tidak memiliki angkatan laut sebanding. Melihat kapal uap hitam raksasa saja sudah merupakan pengalaman mengerikan, apalah lagi ketika Perry memerintahkan kapal-kapal itu menembakkan meriam ke udara saat hendak pergi. Suara dentumannya menggema hingga pegunungan, memekakkan kota Edo (kini Tokyo), dan menebar ketakutan.

USS Mississippi dan Susquehanna di Teluk Edo, 1853 — dua dari empat 'Kapal Hitam' yang mengubah sejarah Jepang | Sumber: Library of Congress, USA
info gambar

Namun, yang lebih menggetarkan dari dentuman meriam adalah kesadaran baru yang perlahan menyebar di kalangan elit Jepang: bahwa sistem pertahanan, teknologi, dan politik mereka telah tertinggal jauh dari dunia luar. Perry bukan hanya membawa kapal, ia membawa dunia baru.

Kapal-kapal hitam Perry menjadi simbol era baru. Ketika ia kembali tahun berikutnya, Jepang menandatangani Traktat Kanagawa pada 31 Maret 1854, membuka dua pelabuhan untuk Amerika, menjamin keselamatan pelaut asing, dan memulai kehadiran diplomatik permanen AS di Jepang. Ini adalah akhir dari kebijakan tertutup Jepang yang berlangsung lebih dari dua abad, dan awal dari perubahan tak terelakkan.

Ketika Tradisi Menyerah pada Transformasi

Tahun 1868 menjadi titik balik. Pemerintahan militer feodal (keshogunan) yang berpusat di Edo runtuh, dan kekuasaan formal dikembalikan kepada Kaisar dalam peristiwa yang dikenal sebagai Restorasi Meiji. Kaisar muda Mutsuhito (Kaisar Meiji) kemudian memimpin Jepang memasuki era modernisasi besar-besaran, dengan semangat yang jarang terlihat di tempat lain. Banyak sejarawan menyamakan Restorasi Meiji dengan Revolusi Prancis (1789) atau Revolusi Bolshevik (1917), karena kedalaman transformasi sosial dan politik yang terjadi.

Walau tidak menghormati budaya Barat, Jepang memahami kekuatan Barat, dan sadar bahwa satu-satunya cara bertahan adalah menyaingi mereka. Maka dimulailah proyek modernisasi nasional yang ambisius.

Menjadi Raksasa

Restorasi Meiji menjadi fondasi Jepang modern. Pemerintah mengadopsi sistem pendidikan Eropa: awalnya model Prancis, kemudian Jerman. Tujuannya jelas, mengidentifikasi keterbelakangan, mengejar ketertinggalan, dan mengalahkan bangsa Barat di bidang yang sama. Disiplin menjadi nilai utama. Pendidikan bukan hanya untuk mencerdaskan, tetapi juga membentuk warga negara yang taat dan produktif.

Potret resmi Kaisar Meiji pada masa awal modernisasi Jepang. Setelah tekanan dari kedatangan armada Komodor Perry di Teluk Edo tahun 1853, Kaisar Meiji memimpin transformasi besar-besaran dalam sistem militer, pendidikan, dan industri Jepang. Mengenakan seragam militer ala Barat, sang Kaisar menjadi lambang perubahan: dari negara tertutup yang tak siap menghadapi dunia, menjadi kekuatan modern yang disegani.(Sumber: The Cleveland Museum of Art / Kinoshita, 1873)
info gambar

Militer juga direformasi. Angkatan darat mengikuti model Prusia, sementara armada laut meniru kekuatan maritim Inggris. Jepang tidak hanya meniru, mereka menyempurnakan. Para pelajar dikirim ke luar negeri, sementara ilmuwan dan teknolog asing didatangkan untuk mempercepat alih teknologi dan pengetahuan.

Meski miskin sumber daya alam, Jepang menggunakan ekspor sutra dan teh untuk menghasilkan devisa. Di akhir abad ke-19, ekspor sutra mencapai 40% dari total ekspor nasional. Hasilnya digunakan untuk membeli mesin dan membangun industri domestik. Jepang mulai mengimpor barang modal (bukan barang konsumsi), demi mengakhiri ketergantungan terhadap produk luar. Strategi ini berhasil: di awal abad ke-20, Jepang menjadi produsen tekstil terbesar di dunia.

Dari Edo ke Shinkansen: Lompatan dalam Satu Abad

Transformasi Jepang tidak berhenti di situ. Seiring meningkatnya perdagangan internasional, Jepang membangun sistem keuangan dan perbankan modern. Jepang menjadi salah satu pusat keuangan di Asia. Sektor transportasi dan komunikasi juga tumbuh pesat.

Ambisi Jepang untuk mengungguli Barat terlihat dari upaya mereka menyaingi dominasi global: mereka mulai memproduksi motor sehebat Inggris, jam setara Swiss, dan mobil sebanding Jerman atau Amerika. Semua dimulai dari tekad yang lahir pasca-dentuman meriam di Teluk Edo.

Peluncuran Hikari, kereta cepat pertama di dunia | Britannica
info gambar

Perjalanan modernisasi ini mencapai puncaknya pasca-Perang Dunia II. Meskipun kalah dan hancur total, Jepang bangkit luar biasa cepat. Hanya 19 tahun setelah kekalahan perang, Jepang meluncurkan kereta tercepat di dunia, Shinkansen, kereta peluru “Hikari” yang menghubungkan Tokyo dan Osaka dalam waktu 4 jam. Diluncurkan bertepatan dengan Olimpiade Tokyo 1964, kereta ini menjadi simbol kebangkitan dan kepercayaan diri nasional yang baru.

Dentuman Zaman Baru: Indonesia di Persimpangan Sejarah

Jepang tidak memilih untuk tertinggal. Mereka mendengar dentuman meriam di Teluk Edo—dan menjadikannya pemantik kesadaran kolektif untuk berubah. Hari ini, dentuman itu bukan lagi berasal dari kapal perang, tetapi dari siaran pers, media sosial, dan dokumen perjanjian dagang yang menggetarkan fondasi ekonomi negara-negara berkembang.

Seperti ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Juli 2025, mengumumkan bahwa Indonesia akan dikenai tarif impor sebesar 19 persen untuk produk yang masuk ke pasar AS, angka yang sempat mengancam naik hingga 32 persen sebelum pemerintah Indonesia menyepakati pembelian energi, hasil pertanian, dan puluhan pesawat Boeing. Ini bukan sekadar soal dagang. Ini adalah sinyal keras bahwa posisi tawar kita, meskipun terus berkembang, masih rentan terhadap tekanan dari kekuatan global.

Namun, jangan salah: ini bukan akhir. Ini adalah jamu pahit yang harus kita telan sebagai bagian dari proses bertumbuh. Sama seperti Jepang yang pernah dipermalukan lewat traktat yang timpang, Indonesia kini sedang diuji dalam fase yang menentukan. Dentuman ini menyakitkan, ya, tetapi justru dari rasa sakit itulah muncul kekuatan baru, jika kita bisa membacanya dengan kepala dingin dan bertindak dengan hati teguh.

Indonesia sedang berdiri di persimpangan sejarah: menghadapi tekanan geopolitik dari AS dan Cina, disrupsi teknologi yang mengancam industri lama, krisis iklim yang menghantam ekonomi riil, serta ketergantungan struktural terhadap pasar dan produk luar negeri. Tapi dari titik ini pulalah kita bisa belajar, berbenah, dan membangun ulang strategi nasional agar tak mudah didikte.

Pertanyaannya kini bukan siapa lawan kita, tetapi apakah kita siap menyusun kekuatan sendiri, berdiri tegak, dan menciptakan posisi tawar yang tak mudah ditekan? Seperti Jepang 1,5 abad lalu, kita tak punya waktu untuk bermalas-malasan. Waktu tidak berpihak pada bangsa yang lamban.

Dentuman zaman ini telah datang dan kita harus menjadikannya titik balik, bukan titik lemah.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.