"Mulai 1 Agustus 2025, kami akan mengenakan tarif sebesar 32 persen kepada Indonesia atas semua produk Indonesia yang dikirim ke Amerika Serikat," bunyi surat Trump tersebut.
Keras. Tegas. Tanpa ampun.
Surat itu dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Untuk Presiden Indonesia, Prabowo Subianto. Surat itulah yang membuat kesabaran saya habis. Karena surat itu bukan lagi sekadar kebijakan dagang. Bayangkan sebuah gelas yang diisi air setetes demi setetes. Tetesan pertama adalah ketika mereka meributkan aturan halal kita. Tetesan kedua adalah ketika mereka mempersoalkan QRIS dan GPN kita. Tetesan-tetesan kecil itu sudah membuat gelasnya hampir penuh. Surat Trump ini bukan lagi tetesan. Ini seember air yang diguyurkan ke gelas yang sudah penuh.
Kesabaran saya habis karena caranya. Surat itu tidak ditulis dalam semangat kemitraan dua negara yang setara. Tapi seperti surat dari seorang juragan kepada pekerjanya. Penuh perintah dan ancaman. Di mana letak rasa hormatnya?
Kesabaran saya habis karena isinya. Logikanya terbalik-balik. Kita yang sedang mati-matian membangun industri di dalam negeri lewat hilirisasi, justru disuruh membangun pabrik di negara mereka. Ini adalah upaya untuk membonsai ekonomi kita agar tidak tumbuh besar.
Dan yang terutama, kesabaran saya habis karena akibatnya. Saya tidak hanya melihat surat itu sebagai selembar kertas untuk Presiden RI. Saya membayangkan para pekerja di pabrik garmen di Sukabumi yang terancam PHK. Saya membayangkan para perajin mebel di Jepara yang pesanannya bisa dibatalkan. Ini bukan lagi soal angka di neraca dagang. Ini soal asap dapur jutaan keluarga Indonesia.
Tapi kenapa Amerika begitu marah? Kenapa sampai segitunya?
Rupanya, 'dosa' kita di mata mereka sudah menumpuk jauh sebelum surat ini datang. Saya teringat laporan dari Kantor Dagang AS (USTR) bulan April lalu. Di situlah semua 'dosa' kita tertulis.
Dosa pertama: uang digital kita. Sejak ada Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan QRIS, 'setoran' kecil dari setiap gesekan kartu yang dulu lari ke Visa atau Mastercard di Amerika, kini lebih banyak berputar di dalam negeri. Bagi kita, ini kemandirian. Bagi mereka, ini hambatan.
Dosa kedua: stempel halal kita. Bagi mereka, ini hambatan dagang. Bagi kita, ini perlindungan untuk mayoritas rakyat. Seperti kata Gus Yahya dari PBNU, ini soal kedaulatan kita untuk melindungi masyarakat sendiri.
Sekarang semuanya jadi masuk akal. Laporan 'dosa-dosa' itu keluar akhir Maret. Lalu ada negosiasi 60 hari yang tampaknya gagal total. Maka, surat 'penalti'-nya keluar di awal bulan Juli 2025 ini.
Bukan hanya penalti. Ada ancaman lanjutannya yang seperti gangster. Kalau kita balas dengan AS dengan misalnya mengenakan tarif 5 persen, maka tarif baru dari AS bukan 5 persen. Tapi 32 ditambah 5, sama dengan 37 persen. Edan.
Sikap Presiden Prabowo pun sebenarnya sudah jelas sejak awal. Jauh sebelum surat Trump datang. Saat isu ini mulai memanas di bulan April, beliau sudah berpidato dengan berapi-api.
"Kita tidak akan pernah menyerah. Kita tidak akan pernah berlutut, kita tidak akan pernah mengemis," kata Presiden Prabowo waktu itu. "Kalaupun mereka tidak membuka pasar mereka kepada kita, kita akan survive, kita akan tambah kuat, kita akan berdiri di atas kaki sendiri."
Begitu kata beliau.
Maka, surat Trump bulan Juli ini harus dibaca sebagai jawaban atas sikap tegas itu. Jawaban atas kemandirian QRIS kita. Jawaban atas kedaulatan halal kita. Jawaban atas pilihan kita bergabung dengan BRICS.
Pahit? Sangat pahit. Tapi inilah jamunya. Jamu pahit yang memaksa kita sembuh dari penyakit ketergantungan. Yang memaksa kita berhenti berharap pada pasar yang kebijakannya bisa berubah hanya dengan satu cuitan media sosial.
Jadi, Pak Trump, sekarang saya paham. Ini bukan sekadar soal dagang. Bukan soal Prabowo. Ini soal Indonesia yang ingin berdaulat penuh secara ekonomi.
Terima kasih telah membuka mata kami semua. Kesabaran kami pada tekanan Anda memang sudah habis.
Tapi semangat kami untuk berdaulat penuh di negeri sendiri, sepertinya, baru saja berkobar.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News