"BRICS adalah manifestasi dari gerakan non-blok Bandung. BRICS menghidupi semangat Bandung," kata Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva di hadapan para pemimpin negara anggota BRICS yang berkumpul di Rio minggu lalu.
Kadang sejarah berulang. Tapi tidak pernah dengan cara yang sama.
April 1955. Bandung. Dunia baru saja keluar dari Perang Dunia. Tapi bagi Asia dan Afrika, perang belum usai, penjajahan belum selesai. Di tengah semangat antikolonial itu, Presiden Soekarno berdiri di podium Konferensi Asia-Afrika, dan mengucapkan kalimat yang kini seperti gema dari masa depan: kita tak ingin dunia yang hanya diatur oleh dua blok. Kita ingin berdiri di kaki sendiri.
Tujuh puluh tahun kemudian, pada Juli 2025, sejarah seperti mengetuk pintu lagi. Kali ini bukan di Bandung, tapi di Rio de Janeiro, salah satu kota utama di Brasil. Indonesia, negara yang dulu masih meraba-raba panggung dunia, kini berdiri sejajar dengan Brasil, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Bukan sebagai undangan kehormatan. Tapi resmi sebagai anggota tetap BRICS+.
Masuknya Indonesia ke BRICS bukan hanya soal kursi di forum internasional. Ini adalah pengakuan, bahwa kita bukan lagi penonton dalam geopolitik dunia. Kita ikut menulis naskahnya. Kita bukan lagi objek dari strategi negara besar. Kita ikut menyusun strateginya.
Konstelasi global sedang berubah. Dunia tidak lagi hitam-putih, seperti era Perang Dingin. Kekuatan Barat memang masih besar. Sangat besar, dan makin sewenang-wenang. Tapi pengaruhnya tidak lagi absolut. Dan negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin tidak lagi puas menjadi catatan kaki sejarah. Mereka ingin jadi co-author, bukan subjek pasif.
KTT BRICS 2025 bukan hanya pertemuan. Sepertinya ia adalah "geopolitical tremor," seperti kata sebagian analis. Ia mencerminkan kebangkitan Global Selatan (Global South). Dan bagi Indonesia, ia menandai pergeseran cara pandang: dari negara berkembang yang menunggu bantuan, menjadi negara pengambil keputusan global.
BRICS: Data, Perbandingan, dan Posisi Indonesia
BRICS, yang kini mencakup Indonesia sebagai anggota tetap sejak 2024/2025, telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi baru yang mengimbangi dominasi G7, negara-negara kaya dari barat + Jepang. Dengan anggota inti yaitu Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, dan tambahan enam negara baru, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Indonesia, BRICS menguasai PDB nominal sebesar sekitar US$26,7 triliun, dan PDB berdasarkan paritas daya beli (PPP) mencapai sekitar US$51,6 triliun.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata kelompok ini berada di kisaran 4% hingga 5%, dengan India mencatat pertumbuhan tertinggi (~6,7%), disusul Tiongkok (~5,2%), dan Indonesia (~5%) sebagai tiga motor utama. Indonesia sendiri mencatatkan PDB nominal sebesar US$1,44 triliun pada tahun 2024, dan tetap menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat di blok tersebut.
Sebagai pembanding, G7, terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Jepang, mencatatkan PDB nominal sekitar US$45,9 triliun dan PDB PPP sebesar US$48 triliun, namun hanya tumbuh pada kisaran 1,5%–2%. Kontribusinya terhadap ekonomi global juga menurun, hanya sekitar 30% dalam ukuran PPP, berbanding BRICS yang kini mencapai 36–40%.
Tak berhenti di situ, BRICS juga membuka ruang bagi perluasan di Asia Tenggara. Tiga negara ASEAN, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, telah disebut sebagai calon mitra strategis. Jika ketiganya bergabung, maka kekuatan ekonomi BRICS akan melonjak drastis. Vietnam mencatatkan PDB nominal ~US$465,8 miliar dan PPP ~US$1,559 triliun, Thailand sebesar ~US$546,3 miliar (nominal) dan ~US$1,857 triliun (PPP), dan Malaysia ~US$1,269,7 triliun (nominal) dengan PPP ~US$14,826 triliun — menjadikan total tambahan dari tiga negara ini sekitar US$2,3 triliun secara nominal, dan hingga US$18 triliun secara PPP.
Dengan kalkulasi tersebut, BRICS bersama Indonesia dan calon dari negara-negara ASEAN diperkirakan akan mencapai total PDB nominal sekitar US$29 triliun dan PPP mendekati US$70 triliun. Bandingkan dengan G7 yang masih memimpin secara nominal, tetapi sudah tertinggal secara PPP dan dinamika pertumbuhan.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, ketiga calon anggota dari Asia Tenggara juga menunjukkan tren yang menjanjikan. Vietnam mencatat pertumbuhan sekitar 7,1%, Malaysia sekitar 5,1%, dan Thailand antara 3%–3,6%. Ini menunjukkan bahwa gabungan BRICS dan Asia Tenggara bukan hanya unggul dalam ukuran, tetapi juga dalam kecepatan.
Dengan dinamika semacam ini, kita sedang menyaksikan peta ekonomi global yang perlahan tapi pasti bergeser dari dominasi negara-negara maju menuju kebangkitan kolektif Global Selatan. BRICS, yang dulunya dianggap alternatif pinggiran, kini sudah setara, bahkan dalam beberapa aspek, melampaui G7. Dan Indonesia, dengan pertumbuhan, posisi strategis, serta sejarah diplomasi bebas aktif, berdiri di tengah arus besar ini sebagai jangkar dan penggerak.
Dulu Bretton Woods. Lalu Bandung. Kini BRICS.
Masuk BRICS bukan seremoni diplomatik. Ini adalah pernyataan: Indonesia siap bermain di liga besar. Dan untuk memahami pentingnya, kita harus mundur ke sejarah yang menentukan struktur kekuasaan global.
Tahun 1944. Dunia masih perang. Tapi Barat sudah berpikir pascaperang. Mereka berkumpul di Bretton Woods, membentuk sistem keuangan dunia, lahirlah IMF dan Bank Dunia. Negara Asia dan Afrika? Tak diajak. Sebab mereka dianggap 'belum' cukup penting.
Akibatnya, sejak awal, sistem global dibangun tanpa kita. Hingga kini, negara-negara yang mewakili 60% populasi dunia hanya memegang 20% suara di IMF. Ketimpangan ini masih nyata, dan kian mencolok.
Bandung 1955 menjadi antitesis. Saat negara-negara pascakolonial menolak logika "blok" dan mulai membentuk suara kolektif. Sekarang, BRICS+ menjadi kelanjutannya. Jika Bretton Woods menyusun dominasi, BRICS membentuk keterwakilan.
Dan itu terlihat dalam Deklarasi BRICS 2025: seruan reformasi WTO, peninjauan sistem PBB, dan penegasan bahwa pembangunan tak harus diukur pakai standar OECD.
Indonesia dan Mimpi Lama tentang Kemandirian
Dari substitusi impor era Orde Baru, industrialisasi era Habibie, sampai ekonomi digital dan energi hijau saat ini, satu hal tak berubah: kita ingin mandiri. Tapi dunia global tak memberi ruang. Hingga kini, 40% pendanaan pembangunan di Asia Tenggara datang dengan syarat politik.
Di sinilah BRICS memberi opsi baru. Lewat New Development Bank dan Contingent Reserve Arrangement, ada jalur pendanaan yang tidak mengandalkan Washington. Bukan berarti tanpa risiko. Tapi ini soal daya tawar.
Palestina, Ukraina, dan Konsistensi Global Selatan
KTT BRICS 2025 juga membahas isu yang selama ini jadi ujian moral global: Palestina. Ketika Rusia serang Ukraina, Barat cepat bereaksi. Senjata, sanksi, retorika tegas. Tapi ketika Gaza dibombardir dan ribuan anak tewas, hanya keluar pernyataan "keprihatinan". Itu pun dengan diiringi dukungan ke Israel tanpa henti.
BRICS memilih bicara jelas: dukung solusi dua negara berdasarkan batas 1967, minta gencatan senjata segera, dan kutuk pelanggaran HAM tanpa standar ganda. Ini bukan hanya diplomasi. Ini sikap.
Dan Indonesia, sejak era Soekarno, selalu menempatkan Palestina sebagai bagian dari amanat konstitusi. Sekarang, suara kita tak lagi sendiri.
Asia Tenggara Tak Lagi Jadi Halaman Belakang
Selama puluhan tahun, Asia Tenggara dianggap pinggiran. Wilayah penyangga. Bukan pusat. Tapi sejarah bercerita lain. Dari Ternate ke Temasek, kawasan ini sudah lama menjadi pusat lalu lintas kekuatan global. Bukan penonton. Tapi pelaku.
Kini, saat Vietnam, Thailand, dan Malaysia juga dilirik untuk BRICS+, kawasan ini menegaskan sikap: kita tak ingin terjebak dalam jebakan "zero-sum game." Kita bisa kerja sama dengan Beijing tanpa memusuhi Washington. Kita bisa gabung BRICS tanpa meninggalkan ASEAN.
Inilah kecerdikan khas Asia Tenggara: bermain di tengah badai kekuatan dunia tanpa kehilangan arah. Dan Indonesia, sebagai negara terbesar di kawasan ini, harus jadi jangkar.
Ruang Main Kita Meluas
Dunia tak lagi bisa didefinisikan oleh satu narasi, satu blok, atau satu mata uang. Dunia multipolar bukan ancaman. Ia adalah normal baru.
Dan Indonesia, jika konsisten dengan nilai-nilainya, keberpihakan pada kemerdekaan, kesetaraan, dan solidaritas, akan menjadi suara yang tak hanya keras, tapi juga didengar.
Kini, kita tidak lagi berkata "kami ikut saja." Kita berkata: "Begini seharusnya dunia."
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News