Dalam beberapa waktu terakhir, gaya hidup sehat semakin populer di kalangan masyarakat. Lebih dari sekadar olahraga, tren ini mendorong banyak orang untuk lebih selektif dalam memilih makanan dan minuman sehari-hari mereka.
Tak heran, produk-produk berbasis nabati seperti susu oat, susu almond, dan susu kedelai pun kini banyak diburu karena dianggap mendukung gaya hidup sehat serta lebih ramah lingkungan.
Namun, tahukah Kawan GNFI, bahwa istilah "susu" nabati untuk produk-produk tersebut sebenarnya adalah sebuah miskonsepsi dalam dunia pangan? Karena, secara ilmiah dan regulatif, produk-produk tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai “susu” dalam arti sebenarnya.
Lalu, mengapa istilah “susu” masih digunakan secara luas untuk menyebut minuman nabati ini? Dan apakah hal ini bisa merugikan konsumen? Mari kita bahas lebih dalam mengenai miskonsepsi ini!
Apa Arti Susu Sebenarnya?
Secara ilmiah, susu adalah cairan hasil sekresi kelenjar susu hewan ternak mamalia, seperti sapi, kambing, ataupun domba, yang diperoleh dari proses pemerahan yang kandungannya tidak dikurangi ataupun ditambahkan bahan lainnya serta belum mendapat perlakukan apapun kecuali pendinginan. Cairan ini dikenal sebagai sumber nutrien esensial yang memiliki kandungan yang khas, seperti lemak, protein, laktosa, vitamin, kalsium, serta mineral.
Sementara itu, secara regulatif, penggunaan istilah susu diatur dalam General Standard for the Use of Dairy Terms (CODEX STAN 206-1999), yang mendefinisikan susu sebagai sekresi normal dari kelenjar susu hewan perah, yang digunakan untuk konsumsi langsung atau pemrosesan lebih lanjut. Artinya, penggunaan istilah "susu" secara resmi hanya berlaku untuk cairan dari hewan, bukan dari tumbuhan.
Lalu, Mengapa Produk Nabati Juga Disebut "Susu"?
Tetapi pada kenyatannya, masih sering kita jumpai banyak produk nabati justru menggunakan istilah “susu” pada label hingga nama produknya, seperti susu kedelai, susu almond, hingga santan kelapa yang sering juga disebut sebagai “coconut milk”. Bahkan istilah ini meluas dan menjadi penyebutan yang umum dan melekat di masyarakat.
Terdapat beberapa alasan mengapa hal ini dapat terjadi. Pertama, karena tampilannya yang mirip dengan susu hewani, yaitu cair dan berwarna putih. Kedua, produk-produk ini sering dijadikan sebagai alternatif pengganti susu oleh konsumen penderita intoleransi laktosa, alergi protein hewani, atau menjalani gaya hidup vegan. Ketiga, istilah “susu” memiliki kesan yang lebih familiar, sehat, dan bernutrisi di benak konsumen sehingga akan lebih mudah diterima.
Namun, sayangnya, penggunaan istilah tersebut juga dapat membingungkan konsumen. Banyak konsumen akan mengira produk ini memiliki kandungan gizi serta nutrisi yang setara bahkan sama dengan susu murni.
Padahal, masing-masing produk memiliki karakteristik nutrisi dan gizi yang berbeda, bahkan tidak jarang membutuhkan fortifikasi demi menyamai nilai gizi dari susu hewani.
Perbandingan Nilai Gizinya
Setiap jenis “susu” nabati memiliki kandungan nutrisi yang berbeda-beda bergantung pada bahan bakunya. Susu kedelai, misalnya, mengandung protein sekitar 3,5 gram per 100 gram dan lemak sebesar 2,5 gram, angka yang cukup mendekati kandungan pada susu sapi.
Sementara itu, susu almond memiliki kandungan protein yang lebih rendah, yaitu sekitar 2,71%, dan lemak sebesar 1,51%. Demikian pula pada minuman nabati lainnya seperti “susu oat” dan “susu beras” yang umumnya memiliki protein jauh lebih rendah dan diperlukan fortifikasi agar mendekati nilai pada susu hewani.
Tetapi kelebihannya, produk nabati ini umumnya tidak mengandung laktosa (gula alami dalam susu sapi), sehingga lebih ramah bagi penderita intoleransi laktosa. Namun, kandungan kalsium pada produk nabati umumnya masih lebih rendah, sehingga masih perlu penambahan untuk sepadan dengan susu hewani.
Bagaimana Nasib Konsumen?
Penggunaan istilah “susu” pada produk nabati memang mengundang pro dan kontra. Di satu sisi, istilah ini sudah populer dan memudahkan promosi. Namun di sisi lain, konsumen bisa terkecoh jika menganggap bahwa semua “susu” punya kandungan gizi yang sama.
Beberapa negara, seperti Uni Eropa telah mengatur pelabelan untuk istilah susu secara ketat. Di mana melarang penggunaan kata “milk” atau “susu” untuk produk non-hewani, kecuali yang sudah menjadi istilah umum seperti “coconut milk” atau “peanut butter”.
Di Indonesia, pengaturan mengenai istilah ini juga telah tercantum dalam BPOM Nomor 13 Tahun 2023 tentang Kategori Pangan. Namun, dalam praktik pelabelan di pasar, penggunaan istilah “susu” untuk produk nabati masih sering dijumpai.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun definisinya sudah jelas, penegakan atau pengawasan terhadap pelabelan belum sepenuhnya konsisten. Di sinilah pentingnya edukasi dan kehati-hatian dari semua pihak.
Meski istilah "susu" pada produk nabati telah umum digunakan, diperlukan sikap bijak dari berbagai pihak. Sebagai konsumen, Kawan GNFI perlu cermat dalam membaca label serta memahami perbedaan kandungan nutrisi antara produk nabati dan susu hewani.
Di sisi lain, produsen juga memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan informasi secara jujur dan jelas dalam pelabelan produk, agar tidak menyesatkan. Dengan begitu, tidak ada pihak yang dirugikan, baik produsen maupun konsumen.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News