Di lereng Gunung Muria yang diselimuti kabut dan kisah-kisah spiritual, terdapat sebuah nama yang tak sepopuler para Wali Songo, namun diyakini memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Jawa: Syekh Hasan Sadzali. Ia bukan sekadar ulama biasa. Dalam tradisi lisan masyarakat Kudus, sosok ini dikenal sebagai guru spiritual Sunan Muria dan wali yang menghadirkan Air Tiga Rasa—sebuah fenomena unik yang hingga kini terus mengundang peziarah.
Jejak Timur Tengah dan Jejak Tarekat Syadziliyah
Asal-usul Syekh Hasan Sadzali memang tidak banyak tercatat dalam manuskrip sejarah. Namun namanya memberi petunjuk: 'Sadzali' kemungkinan berasal dari Tarekat Syadziliyah, aliran sufi yang didirikan oleh Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili di Mesir pada abad ke-13. Banyak yang percaya bahwa beliau datang dari kawasan Timur Tengah atau setidaknya pernah berguru di pusat-pusat Islam yang kuat dengan tradisi tasawuf, sebelum menetap di Jawa.
Diperkirakan, beliau hidup pada abad ke-15 Masehi, sezaman atau bahkan lebih dulu dari Sunan Muria. Kedekatannya dengan Gunung Muria menunjukkan bahwa Syekh Sadzali adalah salah satu perintis dakwah Islam di wilayah tersebut, jauh sebelum kawasan itu menjadi pusat spiritual yang kita kenal sekarang.
Guru Spiritual dan Perintis Komunitas Muslim Muria
Salah satu kepercayaan yang mengakar kuat di masyarakat Kudus adalah bahwa Syekh Hasan Sadzali merupakan guru dari Sunan Muria. Ia mengajarkan ilmu agama, tasawuf, dan strategi dakwah berbasis kearifan lokal—warisan yang kemudian diteruskan oleh Sunan Muria dalam menyebarkan Islam ke pesisir utara Jawa.
Syekh Sadzali juga diyakini sebagai pendiri awal komunitas muslim di lereng Muria. Ia membuka tempat pengajian sederhana, menyampaikan ajaran Islam dengan pendekatan lembut, dan menyatu dengan masyarakat yang masih memegang kepercayaan tradisional. Peran ini menjadikannya tokoh penting dalam sejarah awal Islam di daerah tersebut.
Air Tiga Rasa: Karomah, Simbol, dan Warisan Spiritual
Nama Syekh Hasan Sadzali tidak bisa dilepaskan dariAir Tiga Rasa, sebuah fenomena alam yang diyakini sebagai karomah beliau. Di dekat makamnya di Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kudus, terdapat tiga mata air dengan rasa yang berbeda: manis, pahit, dan tawar.
Menurut legenda, di tempat itu dahulu ada “sumur kehidupan” yang dapat membuat manusia lupa diri. Dengan kebijaksanaannya, Syekh Sadzali menutup sumur tersebut, dan sebagai gantinya, muncul tiga mata air yang mencerminkan nilai spiritual kehidupan. Air ini dipercaya membawa keberkahan, bisa menyembuhkan penyakit, menjadi sarana tolak bala, dan mendamaikan batin.
Menariknya, saat ketiga air itu dicampur, rasanya akan kembali menjadi tawar—simbol penyatuan hati dan keikhlasan dalam ajaran tasawuf.
Menemukan Makam Syekh Hasan Sadzali
Makam Syekh Hasan Sadzali baru ditemukan sekitar tahun 1920-an. Warga sekitar awalnya tidak mengetahui bila makam tersebut adalah tempat bersemayan ulama besar dari Timur Tengah.
Didik Sedyanto yang merupakan Ketua Pengurus Yayasan Makam Syekh Sadzali Rejenu (YMSSR) menceritakan awalnya kakek buyutnya yang bernama Kyai Nasir Anis didatangi tiga orang dari Timur Tengah
Mereka bercerita sudah berbulan-bulan mencari makam leluhurnya yakni Syekh Sadzali. Ketika itu, Kyai Ahmad Rozi yang merupakan menantu dari Kyai Nasir Anis ingat bahwa di tengah hutan Argopiloso (salah satu puncak Gunung Muria) terdapat sebuah makam.
Ketika sampai di tempat tersebut, tiga tamu dari Timur Tengah mengambil sejumput tanah dari makam itu. Mereka mencium baunya dan menyakini bahwa itu adalah makam dari Syekh Hasan Sadzali.
"Setelah tanahnya dicium baunya, mereka langsung membaca takbir. Allahuakbar, Alhamdulillah, ini makam leluhur kami yang bernama Syekh Hasan Syadzali," ucapnya.
Destinasi Ziarah Spritual di Kudus
Makam Syekh Hasan Sadzali terletak di jalur menuju makam Sunan Muria, menjadikannya bagian penting dari tradisi ziarah di Kudus. Banyak peziarah yang sengaja singgah di makam beliau untuk menghormati sosok guru spiritual sekaligus mencari keberkahan dari Air Tiga Rasa.
Bagi masyarakat setempat, keberadaan makam ini bukan hanya situs sejarah, melainkan juga pusat kekuatan spiritual. Tempat ini menjadi ruang untuk berdoa, menenangkan diri, dan merefleksikan makna hidup melalui warisan para wali.
Sumber:
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News