chatgpt sebagai terapis solusi mutakhir atau krisis hubungan - News | Good News From Indonesia 2025

ChatGPT Sebagai Terapis: Solusi Mutakhir atau Krisis Hubungan?

ChatGPT Sebagai Terapis: Solusi Mutakhir atau Krisis Hubungan?
images info

Beberapa tahun lalu saat saya menanyakan kepada teman soal fakta sejarah, dia langsung menjawab “search Google saja.” Kemudian, waktu itu ketika saya menanyakan rekomendasi buku tema pengembangan diri kepada teman yang lain, saya mendapat jawaban yang mirip: “Lo tanya ChatGPT aja.”

Sekilas, pernyataan itu tidak masalah. Tetapi, semakin dipikirkan, kita semakin bergeser dari interaksi antar manusia menjadi manusia dengan mesin. Apalagi kalau bicara chatbot kecerdasan buatan (Chatbot AI), mereka layaknya pisau Swiss yang punya banyak fungsi: bisa membantu pembuatan skripsi, membuat artikel, membuat rumusan coding, review paper, merangkum buku dan jurnal, serta membuat gambar dan video.

Tidak berlebihan jika saat ini chatbot AI menjadi teman yang bisa memberikan saran-saran yang “baik”.

Menjadi Teman dan Terapis

Seorang pria ingin menghubungi kembali mantannya. Namun, dia tidak tahu cara yang tepat. Si pria berpikir untuk berdiskusidengan temannya, tapi dia tidak mau karena merasa malu – temannya juga takkan setuju. Akhirnya, dia memilih bertanya pada ChatGPT karena tidak perlu merasa malu.

Sementara itu, seorang pria yang kesehariannya menjadi konsultan politik, curhat kepada ChatGPT soal masalah hubungannya. Sebelumnya, dia sudah pergi ke beberapa terapis, namun belum menemukan terapis yang cocok. Pria tersebut mengakui kalau konsultasi dengan ChatGPT bisa mengungkapkan masalah atau kecemasan yang sama tanpa ada batasan maupun gengsi.

Kalau melihat dua kasus tersebut, kedua pria punya pilihan untuk bertemu dengan manusia. Bahkan, sudah ada yang bertemu dengan beberapa terapis. Namun begitu, mereka memilih ChatGPT karena punya banyak keunggulan kompetitif dibandingkan teman atau terapis: murah, mudah diakses, tidak menghakimi, dan cepat. Di era yang menuntut semuanya serba cepat, ChatGPT adalah teman dan konsultan yang “ideal”.

Di forum online Reddit, salah satu generasi Z berkata dia lebih memilih cerita ke ChatGPT karena mudah diakses tanpa harus ada janji temu. Bahkan, Sam Altman mengakui kalau generasi Z menjadikan ChatGPT sebagai penasihat dalam keputusan penting hidup mereka.

Fenomena ini menggambarkan bagaimana kebutuhan emosional kita mulai dipenuhi oleh mesin, bukan manusia. Kurang nyamannya kita cerita ke teman atau psikolog mungkin terasa wajar karena banyaknya perbedaan pendapat. Akan tetapi semakin dominannya interaksi kita ke chatbot AI tentu memunculkan pertanyaan: apakah ini akan menjadi masalah kedepannya?

Antara Solusi Emosional dan Kekosongan Relasi

Sebagian mungkin merasa nyaman curhat dengan chatbot AI dan menganggap fenomena ini sebagai demokratisasi layanan pemulihan emosi. Lena – bukan nama sebenarnya – bercerai dengan suaminya.

Setelah bercerai, Lena berkonsultasi ke chabot AI, berharap mendapatkan kalimat menenangkan. Dia pun mendapatkannya, di mana chatbot AI memvalidasi perasaannya dan mengatakan hal-hal yang membuatnya nyaman.

Sementara itu, sebagian lagi khawatir akan risikonya. Misalnya, dalam konteks terapi, chatbot AI bisa memvalidasi perasaan, tetapi tidak “hadir” dan menyediakan perspektif yang beragam. Katakanlah ketika kita curhat ke teman kita tentang suatu masalah hidup. Kemudian, kita berdiskusi dan teman kita memberikan pendapat alternatif.

Pendapat alternatif teman kita membuat kita memikirkan ulang pilihan-pilihan hidup kita. Saat nasihat teman kita ternyata tepat, kita bisa menyampaikan betapa berartinya kalimat yang dia ucapkan ketika bertemu waktu itu. Interaksi pun menciptakan hubungan yang lebih kuat.

Meski dengan kompleksitas yang ada dari chatbot AI, banyak orang sudah menggunakan chatbot AI untuk menyelesaikan masalah hidup sehari-hari karena efisiensi dan kecepatan. Dalam aspek ekonomis, lebih efektif berlangganan chatbot AI dibandingkan pergi ke terapis.

Durasi curhat ke terapis juga terbatas dan frekuensi bertemunya menyesuaikan dana dan jadwal. Sedangkan chatbot AI hanya bayar sekali sebulan, kita bisa langsung buka ponseldan curhat.

Sama halnya saat kita memilih chatbot AI dibandingkan teman untuk curhat. Chatbot AI tidak menghakimi, sedangkan teman dan terapis bisa saja menghakimi. Selain itu, di usia dewasa, kita tak lagi bisa langsung ketemu teman karena sibuk menata hidup.

Kalaupun bertemu, perasaan dan energi yang akan kita ceritakan belum tentu sama. Chatbot AI unggul pada aspek kecepatan dan tidak menghakimi.

Fakta bahwa chatbot AI seperti ChatGPT mulai berperan menjadi teman dan terapis menyisakan satu pertanyaan penting: apakah di masa depan, bukan lagi manusia yang akan menyelesaikan masalah emosional kita, melainkan AI?

Hidup Bukan Hanya Soal Kecepatan

Orang-orang memilih curhat kepada chatbot AI karena kecepatan. Dan ini merupakan dampak dari pola pikir yang mengedepankan kecepatan, di mana kita selalu terburu-buru dan semuanya harus segera mungkin. Mayoritas hal dihitung berdasarkan berapa lama waktu yang dibutuhkan karena kita tidak mau menyia-nyiakan waktu. Sehingga efisiensi dan efektivitas menjadi dua kata kunci saat ini.

Dalam bisnis, dua kata kunci tersebut bisa diterima karena bisnis menuntut adaptabilitas mengingat banyak hal cepat berubah. Makanya, banyak perusahaan mengadopsi AI agar kerjanya lebih optimal.

Sayangnya, ketika kita bicara hubungan dan luka emosional, efisiensi, efektivitas, dan kecepatan bukanlah jawabannya. Ya, chatbot AI bisa memberikan solusi praktis, cepat, dan objektif, yang membuat kita merasa lebih baik.

Namun, ada alasan mengapa kita disebut manusia: kita adalah makhluk yang punya perasaan dan hati. Sedangkan chatbot AI hanyalah kumpulan data yang sudah dilatih, sehingga mampu mengenali berbagai pola interaksi.

Oleh karena itu, kita harus memikirkan bagaimana menavigasi kehidupan kita di tengah gempuran aplikasi berbasis AI. Kita perlu keseimbangan antara kecepatan dengan ketepatan, kesegeraan dengan kesabaran, serta manusia dengan mesin.

Sebagai awal, mungkin sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: kapan terakhir kali kita benar-benar hadir ketika curhat, tanpa terburu-buru mencari solusi instan? Di dunia serba cepat, kita justru butuh manusia yang tidak sering bertemu tetapi tulus dan autentik membersamai kita.

Chatbot AI mungkin memberikan perasaan nyaman yang cepat dan instan, tetapi kita tahu kalau yang instan pun cepat menghilang. Pada akhirnya, kita masih dan akan tetap butuh hubungan antar manusia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.