Gunung Rinjani memang tidak pernah lekang menjadi sorotan masyarakat Indonesia, sebab keindahannya yang gagah. Namun, di balik itu semua, Rinjani menyimpan banyak cerita mencekam, serupa insiden yang merenggut nyawa, yang akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan.
Seorang turis asal Brasil terjatuh di pendakian Plawangan Sembalun pada Sabtu (21/06/2025). Ini membuat tim SAR (Search and Rescue) harus bergerak cepat mengevakuasi korban dari medan yang curam dan sulit dijangkau.
Di sinilah peran krusial helikopter rescue dibutuhkan. Memotong waktu, menembus medan ekstrem, dan menjadi harapan terakhir dalam situasi darurat.
Bukan hanya menyentuh soal keselamatan wisatawan, kejadian ini memancing pertanyaan yang lebih besar: sudah sejauh mana kesiapan Indonesia dalam menghadapi operasi penyelamatan ekstrem, terutama melalui jalur udara? Berapa banyak helikopter yang kita miliki, dan siapa yang mengoperasikannya?
Fakta Kejadian di Rinjani
Seorang turis asal Brasil bernama Juliana Marins melakukan pendakian ke Gunung Rinjani melalui pintu Sembalun bersama tim yang berisi 12 orang pada Jumat (20/06). Diinfokan dari BBC News, pada siaran TV Brasil Globo, dua rekan kelompok pendakian Juliana menyebutkan pendakian tersebut sulit, dan satu orang lagi mengatakan sangat sulit, sangat dingin, dan sangat berat.
Awal mula kejadian, menurut kronologi yang diceritakan rekannya, Juliana berada di belakang kelompok pendakian dan pemandu mereka.
Upacara Ngayu-ayu, Ritual Adat di Sembalun Lombok yang Berkaitan dengan Legenda Gunung Rinjani
“Saat itu masih sangat pagi, sebelum matahari terbit, dengan kondisi jarak pandang yang buruk, berbekal lentera sederhana untuk menerangi medan yang sulit dan licin.” ucapnya.
Kejadian bermula ketika Juliana terjatuh ke arah Danau Segara Anak pada hari Sabtu (21/06) dengan perkiraan kedalaman 150-200 meter, berlangsung pada pukul 6.30 WITA, tepatnya di titk Cemara Nunggal yang merupakan jalur menuju puncak Rinjani.
Berdasarkan Otoritas Taman Gunung Rinjani, tim penyelamatnya telah mendengar teriakan minta tolong Juliana pada hari Sabtu.
Di hari yang sama, melalui rekaman drone dari pendaki, terlihat Juliana masih menunjukkan pergerakannya jauh di bawah jalur pendakian.
Tim penyelamat turun ke lokasi sejauh 300 meter yang diyakini sebagai tempat Juliana berada. Namun sayangnya mereka tak dapat menemukan gadis asal Brasil itu. Ketika dipanggil pun, dia tidak menjawabnya.
Pencarian dilanjutkan pada hari Minggu (22/06). Melalui drone, Juliana sudah tidak nampak lagi berada di lokasinya. Upaya penyelamatan menggunakan drone termal pun terhalang ketika datang kabut tebal.
Kemudian pada Senin (23/06), tim penyelamat dapat menemukan Juliana kembali, yang tampaknya sudah terperosok lebih jauh sekitar 500 meter. Evakuasi sempat dihentikan sementara dikarenakan cuaca yang makin memburuk.
Kondisi medan yang terjal dan kabut tebal menjadi alasan mengapa tim SAR masih sulit untuk melakukan evakuasi.
Hingga Selasa (24/06), diwartakan dari BBC News, Kepala Kantor SAR Mataram, Muhammad Hariyadi, mengatakan masih belum bisa memastikan metode yang tepat untuk evakuasi, sebab masih menunggu penilaian baik dari tim.
Pendakian Gunung Rinjani dalam Catatan Sejarah Frusthorfer Akhir Abad 19
Penggunaan helikopter rescue pun menjadi opsi untuk mengevakuasi korban. Namun pelaksanaannya tentu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Dilansir dari berita Antara, Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Iqbal, menjalin komunikasi dengan PT Amman Mineral Nusa Tenggara Barat, pemilik helikopter khusus untuk operasi di medan ekstrem.
Melalui kejadian ini, timbul pertanyaan besar, helikopter seperti apa yang dibutuhkan untuk penyelamatan korban terjatuh di Gunung Rinjani? Apakah Indonesia telah memiliki helikopter yang memadai?
Helikopter Rescue Indonesia
Mungkin jika kita sering melihat film aksi di Box Office, helikopter kerap digunakan untuk penyelamatan dan dilakukan begitu mudah, sehingga korban akhirnya selamat.
Namun, sejatinya tak semua helikopter rescue itu sesempurna di film-film. Yuk, kita kenali dahulu helikopter untuk operasi penyelamatan milik BASARNAS, dikutip dari indomiliter.com:
- IPTN / PTDI Bo -105 (NBO-105)
Helikopter ini masuk ke dalam kategori ringan (light helicopter). Digunakan untuk service ceiling pada ketinggian ± 5 000 meter (sekitar 16400 kaki). Helikopter ini cocok digunakan untuk misi di ketinggian sedang seperti pegunungan dan ketinggian lokal.
- Airbus Helicopters AS365 N3 + Dauphin
Helikopter ini masuk ke dalam kategori medium-class multirole. Biasanya digunakan untuk operasi laut dan pegunungan dengan durasi terbang ± 4 – 4,3 jam dan radius jangkau ~792 km. Fitur autopilot fokus ketinggian (altitude hold) yang digunakan berfungsi untuk di medan pegunungan dan penerbangan terus-menerus.
- AgustaWestland AW139
Helikopter ini masuk ke dalam kategori medium besar dengan service ceiling hingga 20000 kaki (~6000 meter) serta durasi terbang hingga 6 jam. Untuk radius jangkaunya bisa mencapai 1250 km dengan kemampuan hovering di ketinggian 12000 kaki saat satu mesin mati. Helikopter ini sangat cocok untuk operasi di pegunungan tinggi atau laut lepas dalam waktu lama.
Apakah Mampu Digunakan untuk Penyelamatan di Rinjani?
Kita ketahui terlebih dahulu bahwa kondisi Gunung Rinjani memiliki rincian sebagai berikut:
- Ketinggian puncak: ±3726 meter (12225 ft) di atas permukaan laut.
- Medan: Curam, berbatu, angin kencang, kabut tebal, dan minim area mendarat.
- Titik jatuh Juliana Marlins: Diperkirakan di lereng terjal, bukan area terbuka. Korban terjatuh di lereng ketinggian 9400 ft.
Sejatinya, mountain rescue membutuhkan keadaan cuaca yang stabil serta kapabilitas helikopternya. Untuk kebutuhan hoisting (mengangkat atau menurunkan orang/barang menggunakan tali kerekan), helikopter perlu hover (posisi ketika helikopter diam di udara tanpa bergerak maju, mundur, atau turun, mengambang di satu titik).
Menurut Gerry Soejatman, seorang praktisi penerbangan, melalui akun X nya mengatakan terdapat dua kategori hover yakni Hover In Ground Effect (IGE), melayang dekat permukaan tanah dan Out of Ground Effect (OGE). jauh dari permukaan tanah. Kondisi jatuhnya korban di Rinjani, tidak sedang berada di kondisi tanah datar, maka yang memungkinkan adalah operasi OGE.
Mengacu helikopter milik BASARNAS, kemampuan hover OGE helikopter Bo-105 ada di 10700 kaki, AW139 di 8130 kaki, dan AS365 di 3740 kaki.
Dalam hal ini, maka dapat disimpulkan jika helikopter BASARNAS tidak bisa melakukan hoisting korban sekalipun cuacanya bagus.
Insiden tragis yang menimpa Juliana Marlins bukan hanya menyentuh sisi kemanusiaan, tetapi juga menyibak celah besar dalam kesiapan sistem penyelamatan udara Indonesia di medan ekstrem.
Meski Indonesia telah memiliki sejumlah helikopter rescue berkapasitas mumpuni, faktanya belum ada yang benar-benar ideal untuk misi di ketinggian dan medan seperti di Rinjani.
Fakta ini menunjukkan bahwa kita perlu lebih dari sekadar alat: kita butuh sistem, kesiapan teknis, serta strategi penyelamatan yang adaptif terhadap alam Indonesia yang menantang.
Sebagai wisatawan, kita pun perlu memerhatikan kondisi kesiapan fisik dan mental kita untuk melakukan pendakian. Ke depan, pertanyaan pentingnya bukan lagi “bisakah kita menolong?”, tetapi “Apa yang harus disiapkan agar kita dan orang lain selamat?”.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News