Dalam era digital yang terus berkembang, Generasi Z (Gen Z) muncul sebagai kelompok audiens yang dominan dan strategis. Mereka tidak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi juga aktor aktif yang membentuk budaya digital melalui konten kreatif, tren media sosial, dan partisipasi dalam wacana sosial.
Benny Butarbutar, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas), menekankan bahwa Gen Z kini mulai menduduki posisi strategis di berbagai industri.
“Mereka akan segera menjadi pengambil keputusan. Namun, mereka dikelilingi oleh informasi yang melimpah tanpa kedalaman. Di sinilah pentingnya dialog untuk menjembatani gap pemahaman,” jelasnya.
Menyikapi hal ini, GoodTalk Off-Air Good News From Indonesia (GNFI) dan Perhumas menggelar diskusi bertajuk “Antara Relevansi dan Reputasi: Menakar Gaya Komunikasi ke Gen Z”, Selasa (24/6/2025) di GoWork Menara Rajawali, Jakarta, menghadirkan ahli untuk membahas strategi komunikasi yang sesuai untuk generasi ini.
Gen Z: Generasi yang Paradoksal
Gen Z, generasi yang lahir dan tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi, memiliki karakteristik unik sekaligus paradoksal. Dr. Devie Rahmawati, Lektor Kepala Vokasi Universitas Indonesia, menyoroti bahwa Gen Z adalah generasi paling terkoneksi dalam sejarah, namun juga paling rentan merasa kesepian.
“Mereka tumbuh dengan smartphone, bukan dongeng dari orang tua. Mereka cerdas dan cepat menyerap informasi, tetapi juga menghadapi krisis identitas akibat banjirnya konten digital,” ujarnya.
Gen Z hidup dalam dunia di mana validasi seringkali diukur melalui angka—likes, shares, dan followers—bukan makna. Hal ini menciptakan tantangan bagi organisasi dan brand yang ingin menjangkau mereka secara autentik.
Kristy Nelwan, Head of Communication Unilever Indonesia, menyoroti perlunya pendekatan yang berbeda dalam berkomunikasi dengan Gen Z.
“Mereka adalah digital native yang purpose-driven. Mereka ingin konten yang cepat, relevan, dan memiliki nilai sosial,” ungkapnya.
Sebagai perusahaan yang berdiri sejak tahun 1933, Unilever Indonesia mengalami perubahan komunikasi untuk menyampaikan produknya ke setiap generasi. Kristy memaparkan ada tiga prinsip berkomunikasi dengan Gen Z.
Pertama, bite-sized content, di mana pesan yang disampaikan merupakan konten pendek namun dengan volume yang besar. Kedua, personalisasi konten sesuai dengan komunitas sasaran, serta kolaborasi menggandeng konten kreator yang sesuai dengan nilai brand.
Kristy yang juga merupakan Wakil Ketua Bidang Pengembangan Kampanye Kehumasan Perhumas, juga menekankan bahwa pesan yang disampaikan brand harus memiliki tujuan sosial atau purpose yang jelas. Menurutnya, Gen Z adalah generasi yang memiliki jiwa sosial tinggi dan didorong oleh tujuan yang lebih besar dari sekadar materi.
Sejalan dengan itu, Wahyu Aji, CEO GNFI, ingin agar brand memberikan perhatian khusus kepada Gen Z. “Gen Z bukan hanya target pasar, tetapi mitra dalam membangun masa depan. Mereka haus akan panggung untuk berekspresi, dan tugas kita adalah memberikan ruang tanpa meninggalkan generasi sebelumnya.”
Baca juga Hadirkan praktisi Humas, GoodTalk Off-air Bahas Tarik-menarik antara Viralitas dan Reputasi
Goodtalk Off-Air: Ruang Kolaborasi untuk Membangun Komunikasi ke Gen Z
Gen Z tidak hanya akan menduduki posisi strategis di industri, tetapi juga merupakan tulang punggung ekonomi negara. Cut Frinzy Emilie, Head of Marketing & Branding Superbank, mengungkapkan bahwa Gen Z menghadapi tekanan finansial akibat gaya hidup yang dipengaruhi FOMO (Fear of Missing Out).
“Mereka lebih memilih membeli barang trendi daripada menabung. Tantangannya adalah bagaimana memberikan edukasi finansial tanpa terkesan menggurui,” paparnya.
Superbank berupaya menghadirkan solusi dengan pendekatan personalisasi, seperti fitur nabung fleksibel dan komunikasi yang sesuai dengan bahasa Gen Z. “Kami tidak ingin mengubah kebiasaan mereka, tetapi menuntun dengan cara yang sesuai dengan karakteristik mereka,” tambahnya.
Sejalan dengan hal itu, Fanbul Prabowo, CEO Infipop, mengungkap pola unik Gen Z dalam berinteraksi. “Jika milenial berkumpul berdasarkan interest, Gen Z cenderung pain-point based. Mereka mencari komunitas yang memahami kesepian atau tekanan yang mereka alami,” jelasnya.
Gen Z tidak hanya ingin diakui sebagai individu, tetapi juga sebagai bagian dari gerakan kolektif. Oleh karena itu, brand harus mampu terlibat dalam komunitas yang sudah ada, bukan sekadar membuat kampanye singkat atau gimmick.
Di era banyaknya informasi saat ini, Fanbul juga mengingatkan agar media tidak menjadi bagian dari paradoks yang menghimpit Gen Z. Brand perlu memahami karakteristik Gen Z agar bisa menjalin komunikasi dengan generasi ini.
Keaslian (authenticity) sangat penting karena Gen Z peka terhadap pesan yang terkesan dibuat-buat. Selain itu, konten yang dibuat harus sesuai dengan tren, dan memiliki tujuan yang jelas. Kolaborasi dengan komunitas juga perlu dilakukan agar brand dapat masuk ke kalangan Gen Z.
Baca juga GoodTalk Off-air: Memberi Dampak Sosial yang Nyata dan Berkelanjutan, Bagaimana Caranya?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News