Raja Ampat, salah satu destinasi wisata bahari kelas dunia yang juga dijuluki sebagai “surga terakhir di bumi” kini terancam keindahan alam dan bawah lautnya. Ancaman besar ini datang dari ekspansi pertambangan nikel yang merambah pulau-pulau kecil di wilayah Kabupaten Raja Ampat, seperti wilayah Pulau Gag, Kawe, hingga Manuran.
Diketahui, aktivitas pertambangan ini telah merusak lebih dari 500 hektare hutan serta vegetasi alami di pulau tersebut. Ketiga pulau ini merupakan pulau-pulau kecil yang seharusnya tidak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
Sementara itu, menanggapi ramainya aksi penolakan aktivitas pertambangan di wilayah Raja Ampat dari sejumlah pihak seperti aktivis lingkungan hingga kalangan masyarakat, kini pemerintah telah mencabut izin empat dari lima perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah Raja Ampat.
Diketahui perusahaan tambang nikel yang tidak dicabut izin beroperasinya adalah PT Gag Nikel yang telah memiliki izin Operasi Produksi sejak 2017 dari Pemerintah Pusat. Meskipun pemerintah telah mencabut izin usaha empat perusahaan tambang nikel di wilayah Raja Ampat, namun gejolak amarah dan penolakan aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat masih belum padam.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyebut bahwa pemberhentian aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat tidak cukup.
Menurutnya, evaluasi menyeluruh mengenai industrialisasi nikel diperlukan sebab perusakan lingkungan di Raja Ampat akibat aktivitas pertambangan nikel merupakan persoalan yang sangat besar.
“Kami mengajak masyarakat untuk bersama-sama mendesak pemerintah agar mau mengevaluasi secara menyeluruh mengenai industrialisasi nikel ini. Pemerintah juga perlu mengevaluasi apa yang sudah terjadi di Pulau Sulawesi dan Maluku Utara,” ungkap Iqbal, Sabtu (8/6/2025) dikutip dari Instagram Greenpeaceid.
Ekspansi pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat merupakan sebuah eksploitasi yang menjadi ancaman nyata bagi ekosistem di wilayah tersebut. Sebab aktivitas pertambangan ini merusak hutan tropis dan limpasan sedimen, hingga berisiko merusak habitat pari manta, hiu, dan ribuan spesies laut yang menjadi daya tarik utama kawasan ini. Tak hanya itu, sektor ekowisata yang menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat lokal juga terancam.
Mengutip dari Greenpeace.org, Ronisel Mambrasar, anak muda papua yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat menyebutkan bahwa aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat tak hanya sekedar merusak laut yang selama ini menjadi sumber ekonomi.
Lebih dari itu, aktivitas pertambangan nikel telah memunculkan konflik di tengah kehidupan masyarakat yang sebelumnya harmonis.
Hilirisasi nikel yang selalu digaungkan oleh pemerintah untuk mewujudkan transisi energi bersih kini nyatanya menimbulkan banyak masalah yang justru memperparah kerusakan di bumi, dan merenggut surga laut Indonesia.
Apabila aktivitas pertambangan ini masih diteruskan, ancaman besar sungguh mengintai rumah dan kehidupan bermacam spesies di Raja Ampat hingga hak-hak masyarakat adat di dalamnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News