rumah bagi generasi muda lebih dari sekadar bangunan - News | Good News From Indonesia 2025

Rumah bagi Generasi Muda: Lebih dari Sekadar Bangunan

Rumah bagi Generasi Muda: Lebih dari Sekadar Bangunan
images info

Hal apa yang terlintas di pikiran kamu jika mendengar kata rumah? Pasti kamu berpikir rumah dalam bentuk fisik, yaitu rumah yang memiliki fungsi untuk berteduh dari hujan dan panas.

Namun, pada era ini rumah tidak lagi sekadar rumah fisik. Rumah mulai mengalami pergeseran makna. Hal tersebut sangat menarik untuk kita bahas.

Melalui berbagai unggahan, percakapan daring, hingga obrolan santai sehari-hari, saya menemukan fakta bahwa rumah bagi generasi muda bukan lagi semata-mata bangunan fisik tempat mereka berlindung, melainkan menjadi sesuatu yang lebih personal yaitu sebagai ruang emosional yang menawarkan kenyamanan, kebebasan, dan identitas diri.

Rumah merupakan tempat di mana kamu tidak perlu menjelaskan bagaimana dirimu, tempat di mana lelahmu dimengerti tanpa banyak kata, tempat di mana kamu tidak perlu berpura-pura tanpa takut dihakimi, dan tempat di mana kamu selalu punya alasan untuk kembali.

Fenomena tersebut mencerminkan perubahan cara pandang seseorang terhadap konsep “rumah” sebagai tempat tinggal yang memiliki keterikatan personal.

Menurut pengamatan saya terhadap curhatan generasi muda di media sosial seperti X, bagi sebagian besar generasi muda, rumah bukan lagi tempat ternyaman untuk pulang karena di sana tidak lagi ada rasa nyaman, hangat, dan rasa aman. Permasalahan tersebut tidak muncul tanpa sebab.

Banyak faktor yang memengaruhi hal tersebut, antara lain adalah pola komunikasi keluarga yang kaku, kurangnya ruang untuk mengekspresikan diri, serta ekspektasi dan tuntutan keluarga dan lingkungan sekitar yang sangat tinggi. Teori keterikatan yang dikemukakan oleh Bowlby (1969) menegaskan bahwa pengalaman interaksi di lingkungan dengan pengasuh yang membentuk rasa aman dan nyaman bagi setiap individu.

Kemudian, dalam teori sistem keluarga Murray Bowen (1978), memandang keluarga sebagai unit emosional, yaitu bagaimana setiap individu di keluarga saling terhubung secara emosional dan saling memengaruhi. Ketika sistem dalam keluarga dipenuhi oleh konflik dan ikatan emosional di keluarga tidak baik, serta tidak memberikan rasa aman dan nyaman, rumah tidak lagi menjadi tempat yang ideal untuk berlindung.

Hal tersebut menjadi kegelisahan generasi muda sekarang ini. Mereka merasa tidak dimengerti, karena selalu tidak dianggap penting pendapat dan perasaannya, sehingga mereka tidak memiliki ruang untuk menjadi diri sendiri.

Tekanan, tuntutan, serta ekspektasi orang tua dan lingkungan sekitar membuat diri mereka tidak cukup baik di tempat yang seharusnya menerimanya mereka apa adanya. Selain ketidakamanan emosional, ada pula yang mungkin menghadapi kekerasan secara fisik juga yang membuat mereka semakin tidak nyaman di rumah.

Rumah yang seharusnya menjadi tempat untuk pulang dan beristirahat dengan nyaman, tetapi berubah menjadi tempat yang penuh dengan tekanan. 

Pergeseran makna “rumah” pada generasi muda merupakan bentuk komunikasi mereka terhadap kebutuhan yang selama ini mungkin terabaikan, yaitu kebutuhan akan ruang yang aman dan penuh dukungan secara emosional tanpa adanya tekanan. Banyak generasi muda yang mengekspresikannya melalui media sosial.

Secara tidak langsung mereka menyatakan bahwa mereka membutuhkan rumah yang bukan sekedar fisik, tetapi juga hadir secara emosional. Konten mereka yang menyampaikan makna tersirat maupun suatu hal yang mereka sampaikan secara langsung merupakan bentuk komunikasi akan nilai-nilai baru yang mereka junjung, seperti keterbukaan dan kenyamanan emosional.

Ada berbagai faktor sosial dan budaya yang mendorong adanya pergeseran makna “rumah”. Salah satunya, yaitu meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental di kalangan generasi muda. Dalam era sekarang ini, generasi muda lebih peka terhadap perasaan tidak nyaman dan tidak sungkan untuk menyampaikannya.

Diperkuat dengan akses mereka terhadap informasi yang didapatkan di media sosial maupun komunitas digital yang dapat memperluas perspektif atau pandangan mereka. Pola asuh kaku yang masih diterapkan oleh banyak keluarga menjadi salah satu penyebab renggangnya seorang anak dengan rumah sebagai tempat tinggal dan ruang aman secara emosional.

Adanya tuntutan menjadi sempurna membuat mereka tidak bisa menjadi diri sendiri. Hal tersebut menyebabkan generasi muda menciptakan dan mencari sendiri “rumah” yang mereka butuhkan, baik dalam bentuk persahabatan, komunitas, tempat baru, atau bahkan identitas mereka yang lain dalam media sosial.

Pergeseran makna ini dapat menyebabkan beberapa masalah baik secara personal maupun sosial. Di satu sisi, generasi muda menjadi lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental dan berani untuk memperoleh hak mereka mendapatkan ruang aman secara emosional.

Namun, di sisi lain pergeseran makna ini dapat menciptakan jarak emosional dan fisik dengan keluarga, jika tidak diiringi dengan komunikasi yang saling terbuka. Selain itu resiko konflik yang lebih mendalam antar keluarga bisa muncul.

Oleh karena itu, penting juga bagi keluarga dan masyarakat untuk memahami perihal ini agar dapat menciptakan ruang diskusi yang sehat serta ruang yang aman secara emosional.

Dari berbagai realitas yang muncul sekarang ini, dapat disimpulkan bahwa generasi muda bukannya menolak rumah, tetapi mereka menciptakan rumah versi mereka sendiri, sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai mereka.

Menurut mereka, rumah bukanlah tempat ternyaman untuk pulang, tetapi tempat belajar untuk mendewasakan diri tentang kehidupan. Memang rasanya kejam dan keras, tetapi hal tersebutlah yang membuat mereka kuat untuk sampai di titik ini.

Namun, penting untuk masyarakat, terutama keluarga dan lingkungan sekitar untuk memulai komunikasi yang terbuka. Rumah tidak hanya tempat orang tua membentuk anak, tetapi juga sebagai tempat anak belajar membentuk dirinya.

Orang tua dapat menciptakan suasana yang nyaman di rumah bagi anak dengan selalu memberikan dukungan terhadap setiap hal positif yang dilakukan. Perlunya ruang diskusi agar antara orang tua dan anak bisa saling bertukar pikiran dan fleksibilitas orang tua dalam memahami cara berpikir anak yang pastinya berbeda dengan pemikiran orang tua.

Mengakui dan menerima perasaan serta pendapat anak tanpa menghakimi atau meremehkannya, dapat membuat anak merasa didengar dan dipercaya, sehingga mereka percaya pada dirinya sendiri juga. Kehadiran fisik, emosional, dan mental oleh orang tua secara utuh dalam sebuah interaksi dapat menciptakan “rumah” yang sesungguhnya.

Rumah adalah sebuah tempat yang dibangun untuk menciptakan kehangatan, keterbukaan, kenyamanan, dan rasa hormat. Keamanan yang diciptakan satu sama lain membuat rumah semakin menjadi tujuan untuk pulang.

Kegelisahan yang ada membuat kita belajar untuk membangun rumah yang tidak hanya melindungi dari hujan dan panas, tetapi tempat di mana kita merasa aman dan nyaman secara emosional.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

EV
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.