Indonesia terkenal dengan dua musim utama yang sering kali menjumpai fenomena cuaca yang tak terduga, yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Istilah "kemarau basah" mungkin terdengar kontradiktif yang dianggap sebagai periode musim kemarau yang biasanya kering, justru diwarnai dengan curah hujan yang signifikan atau di atas rata-rata.
Namun, tahukah Kawan GNFI, bahwa fenomena anomali iklim ini bukanlah suatu hal baru?
Fenomena ini semakin tersorot karena intensitas dan dampaknya semakin menarik perhatian, sejalan dengan perubahan iklim secara global.
Wilayah Indonesia yang Menghadapi Musim Kemarau pada 2025
Menurut BMKG, terkait musim kemarau tahun 2025, diperkirakan sekitar 60% wilayah di Indonesia akan menjalani kemarau dengan kondisi normal, 26% akan mengalami kemarau yang lebih basah dari biasanya, dan 14% akan lebih kering daripada biasanya.
BMKG juga memperkirakan bahwa mayoritas wilayah Indonesia akan memulai musim kemarau pada bulan Mei atau Juni 2025. Untuk kemarau basah, wilayah yang terpengaruh (185 ZOM) meliputi sebagian kecil Aceh, sebagian besar Lampung, bagian barat hingga tengah Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian kecil Sulawesi, dan Papua bagian tengah.
Apa Itu Kemarau Basah?
Secara meteorologis, musim kemarau di Indonesia didominasi oleh angin monsun dari Australia yang membawa massa udara kering. Anomali terjadi ketika pola angin terganggu yang menyebabkan munculnya kemarau basah.
Beberapa faktor lain yang memengaruhi adanya kemarau basah di Indonesia adalah:
- Fenomena La Niña
La Niña adalah situasi ketika suhu permukaan laut di bagian tengah dan timur Samudra Pasifik mengalami penurunan dibandingkan dengan suhu rata-rata. Kondisi ini memicu peningkatan curah hujan di Indonesia dan sekitarnya.
- Indian Ocean Dipole (IOD) negatif
Fenomena IOD ini terjadi akibat adanya perbedaan suhu permukaan laut antara bagian barat dan timur Samudra Hindia. Hal ini membuat suhu permukaan di bagian timur Samudra Hindia (dekat Indonesia) lebih hangat dari biasanya, mengarah pada pertumbuhan awan konvektif dan meningkatkan curah hujan.
- Suhu permukaan laut regional
Perubahan suhu permukaan laut di perairan sekitar Indonesia dapat memengaruhi pola curah hujan lokal, di mana perairan yang lebih hangat biasanya meningkatkan penguapan dan berkemungkinan menghasilkan hujan.
- Pergeseran angin Monsun
Perubahan pola angin dapat menyebabkan terjadinya anomali iklim, di mana jika angin monsun barat berlangsung lebih lama, hal ini dapat memperpanjang musim hujan, dan jika angin monsun timur (musim kemarau) membawa lebih banyak uap air, kemarau basah pun bisa terjadi.
Kemarau basah memang mencerminkan kompleksitas perubahan iklim global yang berdampak langsung terhadap iklim di Indonesia.
Sektor Apa Saja yang Terdampak?
Beberapa sektor penting yang terkena dampak dari fenomena perubahan iklim ini meliputi:
- Sektor pertanian
Pada sektor ini, disarankan untuk menyesuaikan waktu tanam, memilih jenis tanaman yang lebih tahan terhadap cuaca ekstrem, serta meningkatkan manajemen irigasi untuk mendukung hasil pertanian, bersama dengan pengendalian hama untuk menjaga hasil panen dari dampak perubahan iklim ini.
- Sektor kebencanaan
Mitigasi dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana perlu ditingkatkan untuk mengurangi potensi dampak negatif akibat anomali iklim yang terjadi.
- Sektor lingkungan dan kesehatan
Kondisi suhu yang tinggi, kelembaban yang meningkat, serta penurunan kualitas udara dan perubahan cuaca yang cepat meningkatkan risiko munculnya penyakit lebih sering daripada biasanya.
- Sektor energi dan sumber daya air
Walaupun di sebagian daerah Indonesia mengalami musim kemarau yang basah, pengelolaan pasokan air yang cermat dan efisien merupakan langkah terbaik untuk memastikan keberlanjutan dan ketersediaannya.
Dampak Fenomena Anomali Iklim dari Kemarau Basah
Fenomena ini sulit untuk diprediksi kapan akan terjadi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan masyarakat Indonesia untuk selalu bersiap menghadapi cuaca yang tidak menentu ini, karena saat siang yang panas, awan gelap bisa tiba-tiba muncul.
Oleh sebab itu, dalam menghadapi cuaca yang tidak menentu, ancaman penyakit, kegagalan panen, dan menjaga imunitas tubuh harus tetap diperhatikan untuk tetap fit setiap harinya. Persiapan seperti topi, payung, dan perlindungan lainnya juga perlu diperhatikan.
Selain itu, risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan banjir bandang harus diwaspadai meskipun di musim kemarau ini, karena kemarau basah memang sulit diprediksi.
Jadi, Kawan GNFI, di tengah perubahan iklim global yang tidak menentu ini, adaptasi dan kewaspadaan menjadi langkah terbaik agar aktivitas tetap berlangsung dengan aman dan risiko yang muncul dapat diminimalkan.
Sudah siapkah hadapi kemarau basah, Kawan GNFI?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News