Di tengah lajunya perkembangan teknologi, keanekaragaman fauna justru mengalami penurunan drastis. Laporan Living Planet Report (LPR) 2024 dari WWF, menunjukkan penurunan populasi satwa liar sebesar 73% dalam 50 tahun terakhir.
Namun, ini belum berakhir. Berbagai upaya konservasi dilakukan dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Hutan Petungkriyono di sisi selatan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Dengan luas 6.000 hektar dan tutupan hutan tropis yang rapat, kawasan ini menjadi rumah bagi berbagai satwa langka, berkat kolaborasi peneliti dan warga lokal dalam menjaga ekosistem.
Mari simak apa saja satwa langka yang hidup di Hutan Petungkriyono!
5 Satwa Langka dan Terancam Punah di Hutan Petungkriyono
1. Owa Jawa (Hylobates moloch)
Owa Jawa merupakan salah satu primata endemik asli Pulau Jawa. Satwa ini tergolong omnivora yang cenderung frugivora (pemakan buah). Itulah mengapa, Hutan Petungkriyono menjadi habitat eksklusif mereka, karena di dalamnya menyimpan keanekaragaman pangan yang tinggi dengan kerapatan hutan yang terpelihara sampai saat ini.
Pada tahun 2020, The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memasukkan Owa Jawa ke dalam daftar merah dengan status “terancam punah” (endangered). Dijelaskan oleh Perhutani, hal ini didasarkan pada prediksi penyusutan hingga 50 persen selama lebih dari tiga generasi, yakni dari 2001-2015, 2016-2030, dan 2031-2045.
Pakar primata UGM, Arief Setiawan menjelaskan pada 2012 bahwa kerapatan Owa Jawa di Hutan Petungkriyono mencapai 2,5 hingga 7,5 individu per kilometer persegi. Dengan jumlah itu, populasi Owa Jawa di Petungkriyono adalah yang terpadat kedua setelah Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Selain ditemukan di Hutan Petungkriyono dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Owa Jawa juga bisa dijumpai di Gunung Gede Pangrango, Papandayan, dan Tilu.
Baca juga: Binturong, Satwa Langka dengan Aroma Tubuh Mirip Berondong Jagung
2. Lutung Jawa (Trachypithecus auratus)
Lutung Jawa adalah jenis monyet pemakan daun yang hidup berkelompok dan aktif di siang hari. Biasanya terdiri dari 2-15 individu per kelompok. Menariknya, anak Lutung Jawa mempunyai warna jingga yang perlahan berubah menjadi hitam dalam waktu rata-rata 2,9 bulan.
Lutung Jawa sering dijumpai di pohon-pohon tepi jalan menuju Petungkriyono. Keberadaanya mudah untuk diamati, akan tetapi harus tetap menjaga jarak dan tidak menganggunya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Intan Rachmadanti Al-huda pada 2023 di petak 18 hingga petak 21 di Hutan Sokokembang, Petungkriyono, mencatat 100 individu Lutung Jawa yang tersebar dalam 11 kelompok. Ini menunjukkan kepadatan populasi Lutung Jawa di hutan ini sebesar 7,46 individu per kilometer persegi.
Dikutip dari KSDAE MENLHK, Lutung Jawa dilindungi oleh Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 733/Kpts-11/1999, serta dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.
Selain itu, IUCN mengkategorikan Lutung Jawa pada status “rentan” (vulnerable), yang berarti satu tingkat di atas “hampir punah” dan tiga tingkat di bawah “punah di alam liar”.
3. Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas)
Macan Tutul Jawa dikenal juga dengan macan kembang asem oleh warga desa di sekitar Hutan Petungkriyono. Satwa ini berburu dengan cara membuntuti dan menyerang saat mangsanya lengah.
IUCN menetapkan Macan Tutul Jawa dengan status “terancam punah“ saat ini. Dalam artikel “LaporanKemajuan Survei Nasional Macam Tutul Jawa” oleh Kemenhut, diperkirakan populasinya kurang lebih 350 individu dewasa di alam. Populasinya terus mengalami penyusutan, terutama akibat fragmentasi habitat.
Pada tahun 2015, tim peneliti dari UGM melakukan penelitian di Hutan Petungkriyono berhasil merekam keberadaan Macan Tutul Jawa dari camera trap. Bukti ini mengonfirmasi bahwa kawasan hutan ini masih menjadi habitat penting bagi macam kembang asem yang kian langka ini.
4. Elang Jawa (Nisaetus bartelsi)
Elang Jawa atau disebut juga javan hawk-eagle. Penampakkan burung ini begitu gagah dengan jambul di belakang kepala membuat Elang Jawa kerap diidentikkan dengan Garuda, lambang negara Indonesia.
Dilansir dari Mongabay, burung endemis Jawa ini tergolong pada satwa yang terancam punah dengan status "terancam punah" (endangered). Menurut BirdLife International, populasi Elang Jawa di alam diperkirakan hanya sekitar 300-500 individu dewasa.
Elang Jawa termasuk satwa yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pangawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan UU No.5 Tahun 1990. Selain itu, satwa ini juga menjadi salah satu dari 14 satwa prioritas untuk diselamatkan berdasarkan SK Dirjen PHKA No.132/2011.
Perlindungan terhadap Elang Jawa sangat penting mengingat peran satwa satu ini sebagai penyeimbang ekosistem.
5. Raja Udang Kalung Biru (Alcedo euryzona)
Burung Raja Udang Kalung Biru atau juga dikenal dengan Javan blue-banded kingfisher memiliki warna biru perak pada punggung dan ekor, putih pada tenggorokan, dan hijau-biru pada dada. Ada sedikit perbedaan pada jantan dan betina. Jantan memiliki perut berwarna putih dan seluruh paruhnya hitam, sedangkan betina memiliki perut jingga serta pangkal paruh bawah merah.
Dalam laporan Chan dan Setiawan (2018), satwa ini pertama kali diidentifikasi di Petungkriyono, menjadi informasi penting dalam peta persebarannya. Bukan tanpa sebab Raja Udang Kalung Biru ditemukan di Petungkriyono. Satwa ini secara alami hidup di sekitar sungai berbatu dalam hutan tropis pada ketinggian 1.250 mdpl.
Itulah mengapa, Hutan Petungkriyono cocok untuk habitat mereka, karena mereka dapat menemukan sumber pangan di sana dan alam yang nyaman untuk dijadikan rumah.
Berdasarkan artikel Swaraowa yang terbit pada 2022, populasi global Raja Udang Kalung biru diperkirakan kurang dari 250 ekor. Karena itu, IUCN mengkategorikan spesies burung ini dalam status “terancam kritis”, artinya berada di satu tingkat sebelum punah, serta masuk ke dalam daftar satwa yang harus dilindungi dalam UU No.5 Tahun 1990.
Baca juga: Kura-Kura Matahari, Satwa Endemik Asli Indonesia yang Langka tetapi Belum Dilindungi
Mari Lestarikan, Jangan Biarkan Mereka Punah
Penurunan populasi satwa-satwa langka ini disebabkan oleh tindakan tidak bertanggung jawab, seperti perburuan liar, deforestasi, dan perdagangan ilegal.
Kolaborasi antara peneliti, pemerintah, dan warga lokal harus terus diperkuat demi menjaga hutan dan satwa liar agar anak cucu kita kelak masih bisa menyaksikan satwa-satwa ini hidup di alam bebas, bukan hanya dalam gambar, buku sejarah, atau museum.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News