Keputusan Presiden Donald Trump mengenakan tarif sebesar 32% pada ekspor Indonesia, mendapat respons hati-hati tetapi strategis dari pemerintah Indonesia.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan pemain penting di Asia Tenggara, Indonesia memilih jalur diplomasi.
Pemerintah menekankan pentingnya menjaga hubungan dagang yang adil dan seimbang dengan AS, sambil mengurangi dampak tarif terhadap ekonomi dalam negeri.
Presiden Prabowo Subianto langsung merespons pengumuman tersebut. Dalam pidatonya di Jakarta pada 7 April 2025 ia menyampaikan, “Kita ingin tetap menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat, tapi hubungan itu harus dibangun atas dasar keadilan dan kesetaraan.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak ingin memperkeruh situasi dan lebih memilih mencari titik temu. Alih-alih membalas atau mengritik secara terbuka, Indonesia mempersiapkan delegasi untuk menjalankan negosiasi langsung.
Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, delegasi akan membawa usulan peningkatan impor barang-barang penting dari AS seperti gandum, kapas, minyak, dan gas sebagai bentuk itikad baik untuk menyeimbangkan neraca dagang.
Pendekatan ini menunjukkan Indonesia berpikir jangka panjang, lebih mementingkan kestabilan dan akses pasar AS daripada kepentingan politik sesaat.
Tarif Trump ini diberlakukan saat Indonesia tengah menikmati surplus perdagangan dengan AS sekitar USD 16,8 miliar pada 2024. Produk ekspor utama ke AS antara lain tekstil, produk karet, peralatan listrik, dan turunan sawit—semuanya kemungkinan besar terdampak tarif baru. Pada 2023, ekspor tekstil Indonesia mencapai USD 13,4 miliar, dan USD 4,75 miliar di antaranya dikirim ke AS.
Pemerintah tidak hanya mengandalkan negosiasi. Menteri Investasi dan Kepala BKPM Rosan P. Roeslani menyatakan, pemerintah juga mendorong pelaku ekspor untuk mulai melakukan versifikasi produk dan mencari pasar baru agar tak bergantung pada AS.
“Untuk menghadapi perubahan kebijakan tarif AS, Indonesia harus lebih aktif menarik minat investor, karena negara-negara ASEAN lain juga melakukan hal serupa,” ujarnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Investasi telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk menarik investasi asing dan memperkuat sektor manufaktur dalam negeri. Pada semester pertama 2024, Indonesia berhasil mencatat total investasi asing dan domestik sekitar USD 53 miliar, naik 22,3% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Sektor-sektor tertentu menjadi fokus utama, semisal transportasi, telekomunikasi, logam dasar, dan pertambangan. Selain itu, pemerintah juga menjajaki kerja sama dagang baru dengan India dan negara-negara ASEAN untuk mengimbangi potensi kerugian dari pasar AS.
Tak hanya itu, keputusan tarif ini juga langsung berdampak pada pasar keuangan Indonesia. Pada awal April 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah tajam, mencapai titik terendah sejak krisis Asia 1998. Hal ini membuat Bank Indonesia melakukan intervensi.
Melemahnya rupiah memunculkan kekhawatiran soal inflasi, aliran modal keluar, dan kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Banyak analis menilai langkah cepat Bank Indonesia sangat penting untuk menenangkan pasar dan menjaga stabilitas makroekonomi ke depan.
Indonesia juga meningkatkan komunikasi dengan sesama negara ASEAN terkait isu tarif. Presiden Prabowo misalnnya, sudah melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim pada 6 April 2025.
Keduanya membahas dampak tarif terhadap kawasan dan sepakat untuk memperkuat kerja sama regional. Menlu Indonesia menyatakan bahwa kedua pemimpin mendukung pendekatan ASEAN secara kolektif untuk memastikan praktik dagang yang adil.
PM Anwar mengemukakan, tarif AS tersebut sebagai “tembok dagang”. Hal ini bisa memengaruhi stabilitas ekonomi kawasan. Ia menyerukan agar ASEAN kompak, tidak terpecah dalam menghadapi tekanan AS ini.
Walaupun Indonesia masih fokus pada negosiasi langsung dengan AS, pembicaraan dengan Malaysia menunjukkan bahwa Indonesia juga terbuka terhadap strategi regional sebagai bagian dari pendekatan diplomatik yang lebih luas.
Dari pihak AS, Menteri Perdagangan Howard Lutnick membela kebijakan tarif ini dalam wawancara di program Face the Nation. Ia menyatakan, kebijakan ini bertujuan untuk “mengembalikan kekuatan ekonomi Amerika.”
Ia juga menegaskan, tidak akan ada penundaan dalam penerapan tarif meskipun AS tetap terbuka untuk berdialog jika mitra dagangnya bersedia mengurangi ketimpangan perdagangan.
Lebih dari 50 negara disebut sudah menghubungi AS untuk memulai negosiasi, termasuk Indonesia. Hal ini menunjukkan pentingnya hubungan dagang kedua negara.
Respons Indonesia terhadap tarif baru dari AS mencerminkan upaya strategis untuk menyeimbangkan diplomasi dan ketegasan. Keputusan untuk tidak langsung membalas, menunjukkan fokus pada hubungan jangka panjang.
Upaya cepat untuk berdialog menunjukkan Indonesia tidak tinggal diam. Komitmen Presiden Prabowo pada perdagangan yang adil, didukung kerja lintas kementerian, menunjukkan pendekatan menyeluruh untuk menghadapi tantangan ini.
Di sisi lain, intervensi Bank Indonesia memperlihatkan keseriusan dalam menjaga stabilitas keuangan. Komunikasi dengan negara tetangga seperti Malaysia, memperkuat posisi Indonesia sebagai jembatan antara kepentingan nasional dan solidaritas kawasan.
Meski hasil negosiasi masih belum memberikan hasil pasti, langkah-langkah yang diambil Indonesia— diplomasi, strategi ekonomi, dan kerja sama regional—memberikan contoh bagaimana negara berkembang bisa menghadapi tekanan proteksionisme global dengan bijak dan terarah.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News