“Pelajaran” yang saya maksud dalam judul tulisan saya ini bukanlah pelajaran tentang teknik dan strategi peperangan antara Ukraina melawan Rusia, melainkan pelajaran pahit yang muncul dari konflik berdarah itu untuk kita, bangsa Indonesia. Pelajaran pahit itu tentang bagaimana suatu negara, kedaulatannya—terutama kedaulatan ekonominya—jatuh ke tangan negara asing dikarenakan utang budi yang mendalam.
Perang yang terjadi di Ukraina sejak bulan Februari 2022 terus berlangsung sampai saat ini, di mana negara Ukraina sudah mengalami kekalahan telak melawan tentara Rusia yang memiliki senjata lebih canggih. Ada yang mengatakan Ukraina sudah kehilangan nyawa tentaranya sebanyak 600.000 sampai satu juta orang. Pihak Barat, dalam hal ini Amerika Serikat dan NATO—Aliansi Pertahanan Atlantik Utara—terus memprovokasi Ukraina agar terus berperang melawan Rusia sampai titik darah penghabisan rakyat Ukraina, dengan cara memberikan bantuan berbagai peralatan tempur ke Ukraina. Tujuannya jelas: Agar Rusia tidak menjadi negara kuat di dunia ini. Menurut berbagai perkiraan, Washington pada saat Joe Biden menjadi Presiden telah memberikan setidaknya 170 miliar dolar AS ke Ukraina.
Begitu kekuasaan negeri Paman Sam beralih ke Donald Trump yang memiliki latar belakang pengusaha dan selalu berpikir profit and loss, kebijakan Amerika Serikat terhadap perang itu berubah. Donald Trump dalam kampanye pilpresnya selalu mengatakan bahwa begitu dia dilantik menjadi Presiden AS tanggal 20 Februari 2025, maka dalam waktu 24 jam dia akan menelepon Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk menghentikan perang karena sudah menelan korban jiwa banyak orang di kedua belah pihak. Sepertinya, secara moral, keinginan Trump menghentikan perang itu mulia.
Namun, ternyata Presiden Trump—bahasa Jawanya undat-undat atau mengungkit-ungkit “kebaikan” Amerika Serikat menggelontorkan miliaran dolar kepada Ukraina—menuntut Ukraina mengembalikan “kebaikan jasa bantuan” Amerika Serikat itu. Ketika Presiden Ukraina, Zelensky, meminta jaminan keamanan dari Amerika Serikat, jawaban Trump: “Jaminan keamanan yang paling pas itu adalah kalau Ukraina menyerahkan sumber daya alamnya kepada Amerika Serikat.”
Lalu, Washington dan Kiev pada hari Rabu, tanggal 31 April 2025, dikabarkan telah menandatangani kesepakatan mineral yang memberikan akses kepada AS untuk mengembangkan sumber daya alam Ukraina, terutama tambang emas, gas, dan mineral langka yang sangat diperlukan oleh industri Amerika Serikat. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dan Menteri Ekonomi Ukraina, Yuliya Sviridenko, mengumumkan hal tersebut pada hari Rabu itu. Kesepakatan itu datang ketika Ukraina mencari jaminan keamanan dari Washington sebagai bagian dari kesepakatan damai potensial dengan Moskow yang sedang dinegosiasikan oleh Presiden AS, Donald Trump.
Gedung Putih menegaskan bahwa bantuan AS pada masa Joe Biden itu harus dikompensasi melalui akses ke sumber daya mineral Ukraina, termasuk unsur tanah jarang yang penting untuk industri teknologi tinggi. Meskipunkesepakatan mineral yang memberikan akses AS ke sumber daya alam Ukraina menguntungkan kedua negara, kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Tammy Bruce, namun sejatinya kedaulatan ekonomi Ukraina secara bulat sudah jatuh ke tangan AS.
Negosiasi tentangkesepakatan mineral telah berlangsung sejak hari-hari awal kembalinya Trump ke Gedung Putih, berjalan paralel dengan upaya perdamaian yang lebih luas. Pemerintahan Trump bersikeras bahwa kesepakatan itu harus memberi kompensasi kepada AS atas bantuan sebelumnya ke Ukraina, meskipun Kiev mengklaim bahwa bantuan itu diberikan tanpa syarat.
Kita, sebagai negara dan bangsa yang besar serta memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, harus belajar dari kondisi Ukraina saat ini. Ukraina yang posisinya terpojok—yang menurut istilah Trump kepada Zelensky, you do not have card—terpaksa harus tunduk kepada AS dengan menyerahkan segala pengelolaan sumber daya alamnya kepada AS. Hal itu terjadi karena Ukraina secara terpaksa berutang budi kepada AS.
Pemerintah Indonesia harus hati-hati dengan segala iming-iming bantuan (termasuk utang) dari negara-negara maju, karena bisa terjadi bila posisi Indonesia terpojok maka negara-negara maju pemberi bantuan itu meminta Indonesia menyerahkan pengelolaan sumber daya alamnya seperti tambang batubara, nikel, bauksit, emas, minyak, gas, perkebunan kelapa sawit, karet, kopi, dan sebagainya ke tangan negara-negara lain. Tidak hanya sumber daya alam tersebut, negara-negara donor itu bisa juga meminta Indonesia membuka pasarnya lebar-lebar seperti industri properti, kawasan perumahan elite, rumah sakit, perguruan tinggi, industri keuangan, transportasi, pelabuhan, dan lain-lain.
Maka, yang bisa saya sarankan sebagai rakyat kecil kepada pemerintah: “Wake up, Indonesia!!!” Karena banyak negara lain yang mengincar kekayaan Nusantara ini.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News