Kita sepertinya melupakan peristiwa penting di Indonesia yang pernah mengguncang dunia. Peristiwa itu adalah Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika (disingkat KTT Asia–Afrika atau KAA; juga dikenal sebagai Konferensi Bandung), sebuah pertemuan negara-negara Asia dan Afrika yang sebagian besar baru saja merdeka, yang berlangsung pada tanggal 18–24 April 1955 di Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Ada dua puluh sembilan negara yang berpartisipasi, mewakili total populasi 1,5 miliar orang, 54% dari populasi dunia. Konferensi ini diselenggarakan oleh Indonesia, Burma (Myanmar), India, Ceylon (Sri Lanka), dan Pakistan, serta dikoordinasikan oleh Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Konferensi yang bersejarah ini mempromosikan kerja sama ekonomi dan budaya Afrika–Asia serta menentang kolonialisme atau neokolonialisme oleh negara mana pun. Konferensi ini sekaligus merupakan langkah menuju pembentukan Gerakan Nonblok (GNB).
Kita sepertinya melupakan sejarah bangsa yang pernah menggetarkan dunia itu karena sibuk membicarakan kejadian-kejadian dalam negeri, seperti tertangkapnya hakim-hakim yang menerima uang sogokan, pertarungan politik yang terjadi di daerah maupun di pusat, dan sebagainya. Namun, Amy Goodman, seorang jurnalis radio dan penulis Amerika lulusan Universitas Harvard pada 1984 serta terkenal sebagai pembawa acara dalam program siaran Democracy Now! di Pacifica Radio, seakan mengingatkan kita di Indonesia akan pentingnya Konferensi Bandung di atas ketika mewawancarai Vijay Prashad, seorang sejarawan, wartawan, komentator, dan intelektual berhaluan kiri asal India. Ia adalah Direktur Eksekutif Tricontinental: Institute for Social Research dan kepala penyunting LeftWord Books.
Amy dalam pengantar wawancaranya dengan Vijay Prashad mengingatkan: “Ketika Presiden Trump bermanuver untuk menjungkirbalikkan sistem perdagangan global, kita melihat kembali momen kritis 70 tahun yang lalu, ketika 29 negara dari Asia dan Afrika berkumpul di Bandung, Indonesia, untuk konferensi anti-kolonial yang bersejarah. Konferensi Bandung 1955 menandai momen kritis bahwa orang-orang dari negara-negara kolonial di Global South membuat kehadiran kolektif mereka terasa di panggung dunia. Itu menandai kelahiran apa yang kemudian menjadi Gerakan Nonblok di tengah Perang Dingin. Negara-negara kunci yang berpartisipasi termasuk India, Cina, Indonesia, Mesir, Burma, Pakistan, Vietnam, dan Ceylon, sekarang dikenal sebagai Sri Lanka.”
Amy kemudian memutar video singkat pidato Presiden Sukarno pada Konferensi Bandung itu, di mana beliau berkata: “This is the first intercontinental conference of colored peoples, so-called colored peoples, in the history of mankind. I am proud that my country is your host. It is a new departure in the history of the world that leaders of Asian and African peoples can meet together in their own countries to discuss and deliberate upon matters of common concern.”
Amy juga memutar video pendapat almarhum Malcolm X, seorang tokoh Muslim Amerika Serikat, yang berpendapat: “At Bandung, all the nations came together. There were dark nations from Africa and Asia. Some of them were Buddhists. Some of them were Muslim. Some of them were Christian. Some of them were Confucian — Confucianists. Some were atheists. Despite their religious differences, they came together. Some were communists. Some were socialists. Some were capitalists. Despite their economic and political differences, they came together. All of them were Black, Brown, red or yellow. The number one thing that was not allowed to attend the Bandung Conference was the white man. He couldn’t come. Once they excluded the white man, they found that they could get together. Once they kept him out, everybody else fell right in and fell in line. This is the thing that you and I have to understand. And these people who came together didn’t have nuclear weapons. They didn’t have jet planes. They didn’t have all of the heavy armaments that the white man has. But they had unity.”
Dalam wawancara ini, Vijay mengemukakan pendapatnya bahwa Konferensi Anti-Kolonial Bandung 1955 yang bersejarah itu menginspirasi Era Baru di Global South. Ia mengatakan: “They all gathered together because they understood their unity was very important, not only to create a new trade and development order — that was not the only part — but also to fight for peace.”
Vijay juga mengatakan: “Anda tahu, sangat menarik, Amy, bahwa tepat setelah Perang Dunia II, ada kebangkitan besar kerusuhan politik di bekas koloni di Asia dan Afrika. Kerusuhan ini, yang dipimpin oleh gerakan anti-kolonial, terjadi tidak hanya untuk kebebasan di negara mereka, tetapi juga untuk kebebasan di negara masing-masing. Jadi, di India, bahkan sebelum India memenangkan kemerdekaannya pada Agustus 1947, mereka mengadakan konferensi yang disebut Konferensi Hubungan Asia, yang bertujuan untuk solidaritas dengan rakyat Indonesia yang berjuang melawan Belanda. Itulah semangat zaman, ratusan juta orang di seluruh Afrika, di seluruh Asia, berjuang melawan kolonialisme, berperang kolonial brutal di Malaya, di Kenya, yang disebut pemberontakan Mau Mau.”
Vijay mengingat momen penting dalam Konferensi Bandung itu: “Dan orang-orang yang datang ke sana—Nehru, Nasser, Sukarno, Zhou Enlai—mereka mewakili gerakan besar dari seluruh dunia. Mereka tidak takut pada orang-orang. Mereka berjalan dari hotel mereka ke tempat konferensi. Tidak ada penjaga bersenjata. Mereka bertemu dengan orang-orang. Mereka disambut dengan sorak-sorai. Dan mereka memberikan pidato yang kuat, tidak hanya tentang persatuan, seperti yang ditunjukkan oleh Malcolm X, tetapi juga untuk mengatakan bahwa, ‘Lihat, kami tidak memiliki senjata nuklir, tetapi kami memiliki kekuatan moral dari gerakan anti-kolonial, dan itulah yang kami tunjukkan di hadapan dunia. Kami ingin mengubah dunia, menjadikannya tempat yang lebih baik. Kami tidak ingin kekuatan senjata menguasai kami lagi.’”
Tidak hanya Amy Goodman yang mewawancarai Vijay Prashad, tetapi juga politisi terkenal dari Skotlandia dan anggota Parlemen Inggris, George Galloway, yang beristri wanita Indonesia, dalam program podcast-nya berdiskusi panjang dengan Vijay tentang begitu pentingnya sejarah Konferensi Bandung itu untuk dikaitkan dengan situasi global saat ini.
Sesibuk-sibuknya kita membicarakan berbagai persoalan dalam negeri yang penuh dengan dinamikanya, kita sebagai bangsa sudah sepatutnya tidak melupakan sejarah penting bangsa ini, yaitu peristiwa Konferensi Bandung tahun 1955 yang telah memberikan inspirasi kuat bagi negara-negara berkembang di dunia ini untuk memiliki kedaulatan dan harga diri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News