malaysia yang dihina kok kuping saya yang panas - News | Good News From Indonesia 2025

Malaysia yang Dihina, Kok Kuping Saya yang Panas

Malaysia yang Dihina, Kok Kuping Saya yang Panas
images info

Baru-baru ini, dunia maya Malaysia dibuat gerah oleh komentar brilian dari Bill O'Reilly, komentator konservatif Amerika yang tampaknya punya pandangan dunia yang... unik. Saat membahas kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Asia Tenggara (Vietnam, Malaysia, dan Kamboja) beberapa waktu lalu, O'Reilly dengan pedenya nyeletuk: "The Malays aren’t going to buy your stuff. They don’t have any money." Terjemahan kasarnya: "Orang Melayu tak akan beli barangmu (produk China). Mereka tak punya uang."

Komentar itu memang ditujukan untuk mencemooh kunjungan Xi Jinping, terutama ke Malaysia, yang tak akan membantu China keluar dari kesulitan akibat tarif tinggi yang dikenakan Donald Trump terhadap produk-produk China untuk masuk pasar AS. 

Memang, O'Reilly menyebut "the Malays," bukan "Malaysians." Namun, konteks kunjungannya jelas merujuk pada Malaysia. Tapi, hei, mari kita maklumi, bagi sebagian orang dengan wawasan terbatas seperti O'Reilly, membedakan antara etnis dan negara mungkin hanyalah detail kecil yang merepotkan. Bisa jadi, dalam kesederhanaan berpikirnya, ia sekalian saja merendahkan semua yang berlabel "Melayu," termasuk saudara-saudara melayu kita di Indonesia. Mungkin hanya O'Reilly yang tahu. 

@luminews.my

“The Malays aren’t going to buy your stuff, they don’t have any money!” In a recently circulated online video, right-wing US commentator Bill O’Reilly criticised Chinese President Xi Jinping’s recent state visit to Malaysia. O’Reilly expressed skepticism about the visit’s potential benefits for China, questioning Malaysia’s economic strength and implying its limited purchasing power.

♬ original sound - Lumi News Malaysia

Namun, di sinilah anehnya: mendengar celetukan yang jelas-jelas menyasar Malaysia, kok malah kuping saya (saya orang Indonesia) yang panas? Mungkin ini reaksi awal yang agak berlebihan, tapi logika sederhana di kepala saya waktu itu: kalau Malaysia, negara tetangga yang (mari kita akui) secara ekonomi selangkah lebih maju, bisa diremehkan sedemikian rupa, bagaimana nasib Indonesia jika (misalnya) Xi Jinping juga berkunjung ke Indonesia dalam tur Asia Tenggaranya?

Anehnya lagi, rasa tersinggung personal ini sepertinya barang langka di Indonesia. Alih-alih merasa ikut kecipratan hinaan O'Reilly, banyak saudara sebangsa yang tampaknya sudah terlalu nyaman dalam buaian narasi kehebatan Indonesia: negara besar, populasi besar, budaya adiluhung, sejarah panjang membahana. Kita ini juara, katanya. Dibandingkan dengan tetangga? Ah, negara kecil mereka itu! Rasa percaya diri ini, meskipun bagus, kadang terasa seperti obat penenang...efeknya gak lama. 

Sayangnya, rasa "hebat" ini seringkali gagap ketika dihadapkan pada angka. Mari kita tengok data PDB per kapita, indikator kasar kemakmuran. Data terbaru (misalnya dari Bank Dunia atau IMF untuk 2023/2024) menunjukkan Malaysia berada di kisaran $13.000 - $14.000, sementara Indonesia masih berkutat di angka $5.000 - $5.500. Tentu, membandingkan PDB per kapita negara berpenduduk 270 juta lebih dengan negara berpenduduk sekitar 30 juta (bahkan lebih kecil dari populasi Jabodetabek) itu agak kurang adil. Tapi angka ini telak menunjukkan adanya jurang kemakmuran riil yang masih menganga lebar. Perasaan "sudah hebat" tadi jadi terasa sedikit... hampa.

Dan di sinilah letak bahaya yang sesungguhnya: jebakan rasa puas diri. Kita terlalu sering merasa "sudah cukup" – cukup besar, cukup kaya budaya, cukup berpotensi. Kita nyaman berselimut dalam kepompong retorika "negara besar dengan potensi luar biasa" tanpa benar-benar menggali potensi itu hingga maksimal. Membandingkan diri dengan Malaysia, Singapura, atau Vietnam yang sedang melesat? Buat apa? Kita kan punya jalan sendiri. Sikap "yang penting kita besar" ini, jika dibiarkan, bisa menjadi candu yang melenakan. Kita berhenti mendorong batas kemampuan karena merasa garis finis tetangga bukanlah urusan kita, padahal kita semua berada di lintasan balap yang sama: menuju kemajuan.

Mimpi indah itu memang tak datang sendiri, dan sekadar berhenti jadi pasar saja tidak cukup untuk meraihnya. Kita perlu strategi yang teruji untuk benar-benar lepas landas. Dalam hal ini, tak ada salahnya kita melirik dan belajar dari raksasa-raksasa Asia lain yang telah membuktikan kemampuannya bertransformasi secara spektakuler: China dan Korea Selatan. Keduanya, meski menempuh jalur berbeda, menunjukkan bagaimana negara yang tadinya mungkin dipandang sebelah mata bisa melompat menjadi kekuatan ekonomi dan teknologi dunia.

Lihatlah China: mereka menunjukkan bagaimana fokus gila-gilaan pada pembangunan infrastruktur skala masif, keberanian untuk menjadi "pabrik dunia" sebelum bertahap naik kelas ke teknologi tinggi, serta perencanaan negara yang terarah dan ambisius dalam jangka panjang, dapat mengubah nasib ratusan juta orang.

Sementara itu, Korea Selatan mengajarkan kita tentang kekuatan kemitraan strategis antara pemerintah dan industri (lewat Chaebol), investasi jor-joran pada riset, pengembangan, dan pendidikan untuk menciptakan SDM unggul di sektor-sektor kunci (seperti elektronik dan otomotif), serta semangat nasionalisme ekonomi yang kuat untuk menaklukkan pasar global. Mengambil inspirasi dari strategi para 'senior' yang sudah berhasil ini bisa menjadi kunci untuk merumuskan jalan ninja Indonesia sendiri.

Namun, menyerap inspirasi dari luar saja tidak cukup. Kunci kemajuan sejati juga terletak pada kemampuan kita untuk mengenali secara jujur dan kemudian memaksimalkan secara cerdas keunggulan unik yang kita miliki di gelanggang global. Kita perlu lebih jeli dan strategis dalam memetakan serta fokus pada keunggulan komparatif (apa yang secara alami kita miliki atau bisa produksi dengan biaya oportunitas lebih rendah dibanding negara lain) dan membangun keunggulan kompetitif (bagaimana kita bisa unggul dari pesaing melalui inovasi, kualitas, branding, efisiensi, atau faktor lain di pasar global).

Secara komparatif, kekayaan sumber daya alam kita memang tak terbantahkan – mulai dari nikel yang kini menjadi primadona era kendaraan listrik, hingga sawit dan rempah-rempah legendaris. Akan tetapi, berkah sumber daya ini bisa menjadi kutukan jika kita hanya puas berperan sebagai pengekspor bahan mentah. Tantangan sekaligus peluang terbesar ada pada hilirisasi: membangun industri pengolahan di dalam negeri untuk menciptakan produk bernilai tambah jauh lebih tinggi.

Di luar sumber daya alam, kita juga punya aset strategis lain: bonus demografi, posisi geografis strategis, keragaman budaya yang luar biasa, serta potensi ekonomi digital yang besar. Menggarap potensi-potensi ini secara serius – dengan investasi tepat sasaran dan penciptaan ekosistem yang kondusif – adalah cara kita membangun pilar-pilar ekonomi masa depan. Kuncinya adalah fokus dan pilihan strategis, menentukan sektor prioritas untuk menjadi global powerhouse.

Saya sering berandai-andai: kelak, ketika Indonesia benar-benar bertransformasi menjadi negara maju (entah butuh berapa dekade lagi, semoga tidak pakai lama), berpenghasilan tinggi, dan disegani di panggung dunia... apa ya, komentar seorang Bill O'Reilly (kalau masih hidup)? Mungkin kita yang bisa dengan santai balik bertanya, "Ngomong opo to, Mas?" Komentar sinisnya bakal terdengar seperti dengungan nyamuk di tengah riuhnya orkestra kemajuan kita.

Jadi, ya, reaksi awal saya mendengar komentar O'Reilly mungkin terdengar baper atau berlebihan. Tapi semoga 'rasa tersinggung' numpang lewat itu ada gunanya: sebagai alarm pengingat untuk tidak terlena dalam zona nyaman kebesaran semu. Lupakan dulu rasa "sudah cukup hebat". Mari fokus pada pekerjaan rumah raksasa: membangun bangsa ini menjadi kekuatan ekonomi yang disegani melalui strategi yang cerdas, belajar dari yang terbaik, dan memaksimalkan potensi unik kita sendiri. Kalau kita sudah mencapai level itu, jangankan O'Reilly, siapapun akan mikir seribu kali sebelum berani meremehkan Indonesia. Jangan sampai kita terlalu asyik dengan perayaan potensi, sementara negara lain sudah finish duluan, kita masih terbatuk-batuk di garis start.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.