saat teknologi melaju di indonesia tradisi semakin dibutuhkan - News | Good News From Indonesia 2025

Saat Teknologi Melaju di Indonesia, Tradisi Semakin Dibutuhkan

Saat Teknologi Melaju di Indonesia, Tradisi Semakin Dibutuhkan
images info

Dalam era digital saat ini, teknologi hadir sebagai pembawa kemudahan yang menghemat waktu dan energi. Teknologi secara praktis mengoreksi kesalahan manusia sampai titik kesempurnaan.

Namun, kesempurnaan yang dibawa oleh teknologi juga mengurangi hubungan antarmanusia. Di zaman ini, kita dapat menghabiskan satu minggu penuh tanpa berinteraksi dengan manusia lain karena kebutuhan harian kita dapat dipenuhi hanya dengan satu klik melalui smartphone.

Keberadaan teknologi dan kecerdasan buatan (AI) mengoreksi kesalahan sekecil apa pun dengan kecepatan dan presisi yang luar biasa. Namun, hal ini mengurangi pengalaman kita sebagai manusia karena hakikat kemanusiaan bukanlah kesempurnaan, melainkan kreativitas dan empati.

Di era ketika kemajuan teknologi semakin digadang-gadang dan potensi aktivitas manusia semakin didominasi oleh AI, kita harus melihat masalah yang timbul dan mengingat kembali kualitas yang mendefinisikan kemanusiaan kita.

Kecanggihan AI dan Risiko Hilangnya Rasa Kemanusiaan

Menurut John Nosta dalam esainya yang berjudul “The Beauty of Inconvenience in an Age of AI”, daya tarik teknologi selalu datang dari kemudahannya—seberapa cepat suatu teknologi dapat menyelesaikan masalah.

Namun, semakin kita bergantung pada teknologi sebagai pemecah masalah, timbul risiko berkurangnya esensi kondisi manusia yang fundamental dalam kehidupan.

John Nosta juga menambahkan bahwa aktivitas yang bersifat repetitif dan berat menghubungkan kita dengan lingkungan sekitar dan interaksi antarmanusia.

Ketika kita bergantung pada teknologi untuk menyelesaikan seluruh aktivitas, maka keterlibatan kita dalam kehidupan sosial akan menjauh secara perlahan.

Dalam permasalahan ini, terdapat kontradiksi di mana teknologi yang diciptakan untuk memberi kemudahan pada manusia juga membawa risiko menghapus faktor usaha manusia yang membuat kehidupan menjadi memuaskan.

Apakah Kawan bisa membayangkan jika muncul teknologi di mana opor bisa dimasak hanya dalam 10 detik saat Lebaran? Akankah Kawan GNFI mendapatkan kepuasan yang sama?

“Dengan menerima kehidupan tanpa hambatan yang ditawarkan oleh AI, kita mungkin secara tidak sengaja mengorbankan lanskap emosional kita—meninggalkan suka duka pengalaman manusia demi kemudahan,” tambah John Nosta.

Ancaman Teknologi terhadap Warisan Budaya

Menurut Claire Pinney, seorang seniman asal Inggris, salah satu ancaman terbesar yang ditimbulkan oleh evolusi teknologi terhadap warisan budaya adalah hilangnya pengetahuan dan keterampilan tradisional. Kemajuan teknologi sering kali menggantikan metode produksi dan komunikasi tradisional.

Misalnya, penggunaan pakaian tradisional yang mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Pakaian yang dibuat dengan keterampilan tradisional, yang sebelumnya harus dibeli di pasar tradisional, kini tergantikan oleh fast fashion yang dapat dibeli secara daring.

Syarif Hidayat, sebagai salah satu responden dari laman Quora, memberikan pendapat mengenai tradisi yang hilang di daerahnya, yaitu “No Banti” dan “Novunja.” Kedua tradisi ini berkaitan erat dengan gotong royong dan kebersamaan yang terjadi antara masyarakat ketika hari panen.

Syarif berpendapat bahwa berkembangnya teknologi menjadi faktor masyarakat di daerahnya meninggalkan tradisi gotong royong demi hasil panen yang bersifat instan.

Fenomena ini didukung oleh pendapat Claire Pinney yang mengungkapkan bahwa tindakan mengganti metode tradisional demi efisiensi dapat berdampak signifikan terhadap pelestarian warisan budaya karena hilangnya keterampilan dan pengetahuan tradisional yang tergantikan dengan metode modern.

Tradisi adalah suatu kebiasaan atau adat yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Tradisi berperan sebagai pilar bagi identitas bangsa Indonesia. Jadi, apakah meninggalkan tradisi demi efisiensi adalah suatu hal yang tepat?

Kembali ke Akar — Tradisi sebagai Penjaga Jati Diri di Era Digital

Untuk menjaga agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai manusia, kita harus terus memupuk budaya dan tradisi yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa kita. Dengan melakukan hal ini, kita dapat memanfaatkan AI dan kemajuan teknologi lainnya tanpa mengorbankan tradisi yang lahir dari jati diri masyarakat.

Menurut Roy Hadley Jr. dalam esainya yang berjudul “In the Age of AI, Don’t Underestimate the Human”, masyarakat dibangun atas cerita bersama dan narasi budaya.

Sepanjang sejarah, masyarakat Indonesia telah menciptakan cerita rakyat seperti Roro Jonggrang, Malin Kundang, dan Timun Mas yang menjelaskan tentang misteri kehidupan dan perjuangan hidup.

Cerita rakyat menjadi pengingat bahwa nilai kehidupan kita tidak hanya terletak pada kemampuan untuk memecahkan suatu masalah, tetapi juga pada kapasitas kita untuk peduli, berempati, dan terhubung satu sama lain pada tingkat emosional yang mendalam.

Mungkin sudah saatnya untuk mengambil kembali tradisi sebagai pilihan untuk terlibat dengan dunia dengan cara yang terkadang tidak efisien tetapi lebih bermakna. Mulailah menghadiri kerja bakti di komunitas kita, membuat rendang dengan resep keluarga daripada resep “sempurna” yang disarankan oleh AI, berbelanja di pasar tradisional—bukan karena kita harus melakukannya, tetapi karena kita bisa.

Meskipun kadang sulit, kita harus tetap melakukan tradisi karena tradisi adalah dasar identitas kita sebagai bangsa Indonesia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SW
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.