Para pahlawan bangsa telah membawa Indonesia menuju gerbang kemerdekaan dengan semangat nasionalisme, patriotisme, dan pengorbanan besar bagi tanah air. Salah satu sosok yang patut dikenang adalah Mari Longa, pejuang dari Ende, Nusa Tenggara Timur, yang dengan gigih melawan penjajahan Belanda.
Menghargai jasa para pahlawan tak cukup hanya dengan memberi nama jalan, lapangan, atau gelar kehormatan, tetapi juga dengan meneladani semangat juang mereka. Keteladanan dan keberanian Mari Longa menjadi inspirasi penting dalam membangun semangat kebangsaan di masa kini.
Oleh karena itu, Marilah Kawan kita mengenal sosok Mari Longa, pejuang dari tanah Ende!
Kenangan dari Ende: Menyelami Strategi Bung Karno Mendidik Rakyat
Sekilas Tentang Mari Longa
Mari Longa (sekitar 1855–1907) adalah sosok pejuang tangguh yang dikenal karena keberaniannya melawan penjajah Belanda dan kepeduliannya terhadap sesama. Dikenal luas oleh masyarakat suku Lio, ia disegani bukan hanya karena perjuangannya, tetapi juga karena jiwa sosialnya yang tinggi, sikap egaliter, dan kepemimpinannya yang menginspirasi.
Mari Longa bergaul tanpa membeda-bedakan, menjadikannya panutan dan tokoh yang dicintai rakyat. Dalam perjalanan hidupnya, ia menikah dengan Nderu Ndoki dan memiliki enam selir, yaitu Kapi Mbipi, Weti Nduru, Fai Bilo, Weti Atu, Tidhu, Aru Atu, dan Bela Badjo.
Sosoknya yang tak gentar dan penuh wibawa tercermin dalam ungkapan: “Aku Mari Longa eo topo doga, Tu’a ngere Su’a, Maku ngere watu, Te iwa Le, Weru iwa Nggenggu, Ae bere iwa sele.” (Aku Mari Longa, tak bisa ditebas pedang, keras seperti baja, kuat seperti batu, disentuh tak terasa, digertak tak gentar, tak terseret arus deras)
Wisata Sejarah ke Kota Ende, Dari Rumah Pengasingan Bung Karno hingga Pohon Sukun Pancasila
Kisah Masa Muda Mari Longa
Mari Longa merupakan pejuang tangguh asal Lio, Ende, Nusa Tenggara Timur. Ia mewarisi darah kepemimpinan dari ayahnya, Longa Rowa, seorang panglima besar penjaga perbatasan Tanah Persekutuan Lio Nida.
Lahir di Watunggere dari ibu bernama Kemba Kore, Mari Longa awalnya bernama Leba Longa. Leba sendiri adalah nama tanaman sejenis pare yang pahit, sebagai simbol harapan agar kelak ia menjadi pribadi tegas.
Namun karena kerap sakit-sakitan, namanya diganti menjadi Mari, nama pohon yang sangat keras dan juga memiliki rasa pahit dalam sebuah upacara adat.
Sejak pergantian nama itu, Mari Longa tumbuh sehat dan menunjukkan jiwa kepemimpinan sejak kecil. Mulai dari belajar memanah hingga ikut berburu bersama warga desa.
Pengembaraan Mari Longa ke berbagai penjuru Flores memperluas pandangannya dan memperkuat tekadnya untuk melawan ketidakadilan. Ia menyaksikan langsung penderitaan rakyat yang diperlakukan semena-mena oleh Belanda—mereka yang melawan ditangkap, disiksa, bahkan dipenjara.
Dengan bekal keberanian dan jiwa kepemimpinannya, Mari Longa memulai perlawanan dengan membangun simpati rakyat melalui gerakan moral dari kampung ke kampung. Gerakan ini kelak menjadi fondasi penting dalam perjuangannya melawan penjajahan.
Perang Perjuangan Mari Longa Melawan Penjajah
Perlawanan Mari Longa terhadap Belanda dimulai pada tahun 1890, saat ia bergabung bersama Bhara Nuri, salah satu pemimpin pejuang Ende, dalam perang melawan penjajahan.
Dalam pertempuran Perang Koloni I atau yang dikenal sebagai perang “ae mesi nuka tana lala” (air laut naik, tanah runtuh), putrinya, Nduru Mari, tertembak namun berhasil diselamatkan. Perang ini berlangsung sengit dari 1893 hingga 1897, dengan kemenangan di pihak Mari Longa dan masyarakat Lio.
Perlawanan berlanjut dalam Perang Koloni II (1898–1902), di mana strategi Mari Longa menggiring pasukan Belanda ke dalam hutan membuat mereka menyerah tanpa banyak korban. Meski sempat diajak damai dan dijanjikan jabatan sebagai raja oleh Belanda, Mari Longa tak pernah benar-benar diangkat. Hal ini menunjukkan betapa liciknya penjajah.
Ketegangan memuncak dalam Perang Koloni III pada 1905, ketika Belanda membakar kampung Lewagare dan Mari Longa membalas dengan menyerang pasukan Belanda.
Perang Koloni IV pecah setahun kemudian, di mana puluhan serdadu Belanda gugur akibat jebakan panah otomatis di jalur menuju Watunggere dan hutan sekitar Benteng Watunggere. Belanda akhirnya mundur ke Kota Ende.
Namun, pada 1907, Perang Koloni V kembali meletus akibat pengkhianatan Belanda. Dalam pertempuran di depan benteng Watunggere, Mari Longa gugur di tangan Kapten Christoffel. Hal ini mengakhiri perjuangan fisiknya namun meninggalkan warisan keberanian yang terus dilanjutkan hingga kemerdekaan.
Benteng Mari Longa yang Masih Bertahan
Benteng Mari Longa, yang terletak di Desa Watunggere, Kecamatan Detukeli, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, merupakan situs pertahanan bersejarah tempat Pahlawan Mari Longa dan para pejuang lainnya melawan serangan Belanda pada masa perjuangan kemerdekaan.
Berjarak sekitar 62 km dari pusat Kota Ende, benteng ini dapat ditempuh dalam waktu sekitar 2,5 jam perjalanan darat. Meski kini hanya tersisa puing-puing, struktur berbentuk lingkaran dengan susunan kayu dan batu ini masih tampak jelas.
Di bagian dalamnya terdapat tumpukan batu yang menjadi makam para pejuang yang gugur. Sebagai cagar budaya dan destinasi wisata sejarah, Benteng Mari Longa menjadi simbol penting perjuangan rakyat Lio yang patut dilestarikan dan dikenang.
Pengajuan Mari Longa sebagai Pahlawan Nasional
Pemerintah Kabupaten Ende terus mendorong agar Mari Longa diakui sebagai pahlawan nasional. Upaya ini merupakan bagian dari komitmen untuk menggali sejarah lokal, sekaligus menjaga semangat kepahlawanan agar tetap hidup di tengah masyarakat.
Pemerintah optimis bahwa Mari Longa layak mendapat tempat dalam sejarah perjuangan bangsa. Pengakuan ini diharapkan dapat menginspirasi generasi muda untuk lebih menghargai dan meneladani perjuangan para pahlawan, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Kini, kejayaan Mari Longa tinggal dalam kenangan sejarah, namun semangat perjuangannya tetap hidup dan dikenang. Namanya diabadikan melalui Jalan Mari Longa di Kota Ende, lagu-lagu perjuangan, serta patung-patung yang menggambarkan sosoknya.
Meski telah tiada, Mari Longa terus menginspirasi generasi penerus dengan semangat pantang menyerah. Hal ini tercermin dalam semboyannya yang sering dipekikkan oleh masyarakat Lio, “topo doga, ae bere iwa sele” yang dapat kiaskan menjadi “tanpa menyerah dan tak kenal lelah”, sebagai roh perjuangan dalam membangun bangsa.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News