Pengendalian hama tikus di lahan pertanian tidak harus selalu mengandalkan racun kimia atau perburuan besar-besaran.
Kini, petani mulai beralih ke pendekatan yang lebih alami dan berkelanjutan—memanfaatkan predator alami seperti burung hantu.
Salah satu jenis yang paling efektif adalah Tyto alba, burung hantu yang dikenal sebagai "pemburu tikus" ulung.
Tyto Alba: Predator Efektif yang Ramah Lingkungan
Tyto alba bukan sekadar burung hantu biasa. Spesies ini memiliki kemampuan luar biasa dalam mengendalikan populasi tikus tanpa merusak ekosistem.
Seekor Tyto alba dewasa mampu memangsa 3-5 ekor tikus setiap malam, menjadikannya solusi alami yang jauh lebih efisien dibandingkan racun atau perangkap konvensional.
Keunggulan lain dari Tyto alba adalah sifatnya yang tidak agresif terhadap manusia dan mampu beradaptasi dengan iklim tropis.
Berbeda dengan pestisida yang mencemari tanah dan air, burung hantu ini bekerja tanpa meninggalkan dampak negatif pada lingkungan.
Namun, Dr. Yudhistira Nugraha, Peneliti Ahli Madya dari BRIN, mengingatkan bahwa predator alami saja tidak cukup jika terjadi ledakan populasi tikus (outbreak).
"Ketika jumlah tikus meledak, petani perlu menggabungkan berbagai metode, seperti perangkap mekanik, pengemposan sarang, dan sistem barrier untuk menekan populasi sebelum dikendalikan oleh burung hantu," jelasnya.
Baca juga Burung Maleo, Keunikan Satwa Endemik dengan Cara Reproduksinya yang Tak Biasa
Rumah Burung Hantu (Rubuha): Kunci Keberhasilan Konservasi
Agar Tyto alba dapat bekerja optimal, petani perlu menyediakan Rumah Burung Hantu (Rubuha)—kotak sarang yang dipasang di tiang setinggi 4-5 meter. Karena burung hantu tidak membangun sarang sendiri, Rubuha menjadi tempat ideal untuk mereka tinggal dan berkembang biak.
Penempatan Rubuha juga harus diperhitungkan dengan cermat. Idealnya, setiap sarang berjarak 100-200 meter agar wilayah jelajah burung (sekitar 12-25 hektar per pasang) tidak saling tumpang tindih.
Dengan begitu, burung hantu dapat berburu secara optimal tanpa bersaing dengan sesamanya.
Sebelum dilepas ke alam, Tyto alba bisa dikandangkan sementara dan dilatih berburu tikus hidup. Hal ini memastikan mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan pertanian sebelum benar-benar mandiri.
Tantangan dan Solusi Jangka Panjang
Meski efektif, penggunaan burung hantu sebagai pengendali hama tidak lepas dari tantangan. Jika populasi tikus menurun drastis, Tyto alba bisa beralih memakan burung kecil, kelelawar, atau bahkan ternak. Untuk mencegah ketidakseimbangan ekosistem, pemantauan populasi harus dilakukan secara berkala.
Keberhasilan program ini juga bergantung pada dukungan pemerintah dan kesadaran petani. Edukasi tentang pentingnya konservasi predator alami, penyediaan Rubuha, serta kebijakan yang mendukung pertanian berkelanjutan menjadi kunci utama.
"Sinergi antara konservasi alam dan pengendalian hama terpadu adalah masa depan pertanian modern—efektif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan," tegas Yudhistira.
Dengan pendekatan ini, petani tidak hanya terbebas dari ancaman hama, tetapi juga turut menjaga keseimbangan alam. Burung hantu bukan sekadar solusi, melainkan mitra alami bagi pertanian yang lebih hijau.
Baca juga Rangkong, Burung Endemik dengan Makna Spiritual bagi Suku Dayak
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News