Saat Lebaran tiba, meja-meja di rumah keluarga Kawan biasanya dipenuhi oleh toples-toples berisi berbagai kue kering. Dari nastar berisi selai nanas hingga kastengel gurih bertabur keju, semua hadir sebagai simbol sukacita dan kebersamaan.
Namun, di antara deretan camilan itu, ada satu yang kerap menarik perhatian: kue lidah kucing. Bentuknya yang tipis memanjang, renyah di ujung lidah, dan rasa manis-gurih yang pas, membuatnya tak pernah absen dalam tradisi Lebaran. Meski kini mudah ditemui, sejarahnya justru menguak jejak panjang yang dimulai dari belahan Eropa.
Berasal dari Perancis, Dibawa oleh Belanda
Nama langues de chat—lidah kucing dalam bahasa Prancis—pertama kali tercatat di abad ke-17. Konon, kue ini diciptakan oleh koki istana untuk kalangan bangsawan. Bentuknya yang tipis dan panjang, menyerupai lidah kucing, dianggap cocok disandingkan bersama teh di sore hari. Bahan dasarnya pun sederhana: tepung, mentega, gula, dan putih telur.
Kebiasaan minum teh ala Eropa abad ke-18 turut membawa langues de chat menyebar ke Belanda. Di Belanda, kue ini disebut kattentongen dan menjadi camilan favorit kalangan elite kolonial. Menurut Tempo, ketika Belanda menjajah Indonesia, mereka membawa serta tradisi kuliner ini. Awalnya, lidah kucing hanya dinikmati di rumah-rumah pejabat Hindia Belanda atau kaum Indis. Bahan seperti mentega dan gula halus saat itu masih langka, menjadikannya simbol status sosial.
Selain rasanya, ada hal menarik di balik pembuatan lidah kucing. Salah satu daya tariknya adalah perannya dalam mengurangi pemborosan bahan makanan. Dilansir dari RRI, penggunaan putih telur dalam resepnya adalah solusi cerdas untuk memanfaatkan sisa bahan. Pasalnya, banyak resep kue lain seperti kastengel atau lapis legit lebih banyak menggunakan kuning telur. Alih-alih membuang putih telur, masyarakat mengolahnya menjadi lidah kucing yang bernilai ekonomis.
Menguak Sejarah Kue Hari Raya di Indonesia, Nastar dan Kastengel
Mengalami Adaptasi
Selepas kemerdekaan, lidah kucing perlahan merambah ke dapur rumah tangga Indonesia. Namun, ada tantangan: nama *langues de chat* sulit diucapkan. Berbeda dengan nastar (ananastaart) atau kastengel (kaasstaengels) yang mudah dilafalkan, lidah kucing tetap mempertahankan terjemahan harfiahnya.
Tidak hanya namanya yang berubah. Resep asli Eropa pun diadaptasi. Di Prancis, lidah kucing cenderung gurih dengan rasa mentega dominan. Di Indonesia, selera manis lebih digemari. Maka, tak heran jika resep lokal menambahkan ekstrak vanilla atau tepung maizena untuk memberi sentuhan lembut.
Menurut Journal of Ethnic Foods (2020), adaptasi resep kolonial menjadi ciri khas kuliner Nusantara—seperti penggunaan vanila dan gula lebih banyak sebagai bentuk “pemberontakan rasa” terhadap versi Eropa yang cenderung sederhana.
Variannya pun berkembang. Kue lidah kucing ini aslinya hanya memiliki satu varian saja, yakni rasa original dengan tampilan warna kuning keemasan. Kini lidah kucing hadir dengan lapisan cokelat, taburan keju, atau bahkan warna-warni seperti matcha dan red velvet. Inovasi ini tak hanya menarik generasi muda, tetapi juga menjawab kebutuhan pasar yang dinamis.
Hadir di Hari-Hari Besar Keagamaan
Pada masa kolonial, menyajikan lidah kucing di hari raya adalah kebanggaan. Ia mewakili strata sosial pemilik rumah. Tapi, pasca-kemerdekaan, masyarakat Indonesia dapat menyantap kue lidah kucing pada saat perayaan-perayaan seperti hari besar keagamaan. Tak hanya di Lebaran, lidah kucing juga hadir saat Natal dan Imlek, menjadi jembatan antarumat yang merayakan kebahagiaan dengan cara masing-masing.
Kini, di era serba instan, lidah kucing bertahan bukan sekadar karena nostalgia. Kemasan modern seperti toples transparan bertali rafia atau kemasan vacuum seal membuatnya tetap relevan. Bahkan, di platform seperti Instagram, lidah kucing versi giant atau berwarna pastel jadi tren di kalangan food enthusiast.
Madumongso, Kudapan Manis Asal Jawa Timur yang jadi Makanan Khas Lebaran
Dari Prancis abad ke-17 hingga toples kaca di rak-rak toko oleh-oleh Indonesia, lidah kucing telah menempuh perjalanan lintas benua dan budaya. Di balik renyahnya yang khas, lidah kucing menyimpan cerita tentang adaptasi dan kreativitas.
Ia tak lagi sekadar camilan para bangsawan, melainkan warisan kuliner yang terus berevolusi. Meski zaman terus berganti, kue ini tetap setia menemani senyum keluarga saat Lebaran.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News