Langkah Presiden Prabowo Subianto yang berencana menghapus kuota impor mendapat sorotan luas dari kalangan pengusaha dan pemerhati ekonomi.
Kebijakan ini disebut sebagai respons strategis terhadap tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat, sekaligus bagian dari reformasi untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing Indonesia.
Namun, di tengah sambutan positif, tak sedikit pihak yang menilai perlunya kehati-hatian agar tidak menciptakan risiko baru bagi industri nasional.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menyatakan bahwa pihaknya mendukung langkah pemerintah tersebut sebagai wujud reformasi menyeluruh.
“Apindo melihat langkah Presiden sebagai bagian dari reformasi menyeluruh untuk memperbaiki efisiensi dan daya saing nasional,” ujarnya, dikutip dari ANTARA (11/4/2025).
Peluang untuk Perbaikan
Menurut Apindo, pelonggaran impor bahan baku dan bahan penolong dapat mendukung kelancaran operasional industri dalam negeri.
Di sisi lain, Shinta juga mengingatkan bahwa kebijakan ini harus diimbangi dengan pengawasan ketat untuk mencegah praktik dumping dan penyelundupan yang berpotensi merugikan pasar domestik.
Dari satu sisi, penghapusan kuota impor bisa membuka peluang efisiensi dalam proses produksi, khususnya bagi sektor industri yang selama ini masih tergantung pada bahan baku dari luar negeri.
Tantangan untuk Ketahanan
Dengan biaya produksi yang lebih kompetitif, industri nasional diharapkan dapat bersaing lebih baik di pasar global.
Namun, di sisi lain, pelonggaran ini dapat menjadi tantangan besar jika tidak diiringi dengan penguatan struktur industri dalam negeri.
Sektor padat karya dan industri kecil-menengah menjadi yang paling rentan terhadap kemungkinan banjirnya produk impor murah. Tanpa dukungan kebijakan perlindungan yang kuat dan responsif, pelaku industri lokal bisa terdesak di pasar mereka sendiri.
“Relaksasi impor harus dibarengi dengan pengawasan ketat terhadap potensi dumping dan penyelundupan, serta percepatan kebijakan trade remedies demi melindungi pasar domestik secara adil,” tegas Shinta.
Namun, perlu dicermati sejauh mana kesiapan sistem regulasi Indonesia dalam mengeksekusi perlindungan tersebut secara efisien dan tepat waktu.