Kebangkitan kembali Donald Trump dalam panggung politik Amerika Serikat turut memunculkan kekhawatiran atas kembalinya kebijakan tarif resiprokal yang proteksionis.
Bagi Indonesia, negara dengan orientasi ekspor yang masih dominan pada komoditas mentah, tantangan ini tentu tak bisa dianggap enteng. Namun, di balik tantangan itu, ada peluang besar yang bisa dimanfaatkan: diversifikasi pasar ekspor.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai bahwa langkah antisipatif Indonesia sebaiknya difokuskan pada upaya memperluas pasar ekspor, bukan justru membalas dengan tarif serupa.
“Indonesia sebaiknya memperkuat strategi diversifikasi pasar ekspor,” ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip dari ANTARA (Rabu, 9/4/2025).
Keunggulan Tarif yang Belum Dimaksimalkan
Menurut Josua, Indonesia memiliki peluang untuk lebih agresif menembus pasar ekspor nontradisional karena adanya preferensi tarif yang lebih rendah jika dibandingkan dengan negara pesaing seperti Vietnam, Bangladesh, dan Kamboja.
Hal ini terutama berlaku pada sektor padat karya seperti pakaian jadi dan alas kaki.
“Tarif yang lebih rendah untuk Indonesia dibandingkan Vietnam, Bangladesh, dan Kamboja memberikan ruang untuk ekspansi pasar yang lebih agresif,” tegasnya.
Namun peluang ini hanya bisa dimanfaatkan jika hambatan struktural dalam negeri segera dibenahi. Salah satu sorotan Josua adalah masih tingginya beban Non-Tariff Measures (NTM) yang mencakup hingga 70 persen dari nilai impor Indonesia.
Di samping itu, efisiensi logistik dan kecepatan proses perizinan juga perlu diperbaiki agar tidak kalah saing dengan negara ASEAN lainnya.
Fondasi Ekonomi Relatif Kuat, Tapi Tantangan Masih Ada
Meskipun tekanan global meningkat, Josua melihat ketahanan ekonomi Indonesia masih solid. Stabilitas sektor keuangan, pertumbuhan kredit yang tetap positif, serta cadangan devisa dan rasio kecukupan modal (CAR) perbankan yang kuat menjadi bantalan penting bagi Indonesia menghadapi potensi guncangan eksternal.
Walau demikian, tekanan pada pasar keuangan tetap terasa. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah sempat melemah akibat sentimen global. Namun, secara keseluruhan, fundamental ekonomi Indonesia dinilai masih dalam tren positif. Bahkan, daya saing nasional tercatat mengalami peningkatan signifikan, naik tujuh peringkat ke posisi ke-27 dunia.
Masalah utama yang belum terselesaikan adalah ketergantungan pada ekspor komoditas mentah yang harganya sangat fluktuatif. Dengan permintaan global yang melemah, Indonesia perlu mendorong hilirisasi dan meningkatkan nilai tambah ekspor.
Strategi Jangka Panjang: Dari Diplomasi hingga Hilirisasi
Untuk merespons tarif Trump, Josua menyarankan beberapa langkah strategis jangka panjang untuk menghadapi kebijakan tarif Trump. Pertama, meningkatkan daya saing industri padat karya dengan insentif fiskal, kemudahan bahan baku, dan pembiayaan yang mendukung produksi.
Kedua, mempercepat implementasi perjanjian dagang seperti CPTPP, RCEP, EU-CEPA, dan BRICS+ untuk memperluas pasar dan mengurangi risiko tarif AS. Ketiga, mengoptimalkan devisa ekspor dan mendorong hilirisasi agar ekspor Indonesia punya nilai tambah.
Terakhir, memperkuat diplomasi ekonomi agar Indonesia bisa lebih aktif membentuk sistem perdagangan global yang adil dan menguntungkan.
Josua menilai bahwa langkah pemerintah Indonesia yang menghindari konfrontasi langsung dengan AS merupakan pendekatan yang bijak. Pemerintah memilih jalur negosiasi, baik bilateral maupun multilateral, serta memanfaatkan kerangka kerja seperti Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) untuk mencari solusi.
“Ini merupakan pendekatan yang bijak mengingat posisi Indonesia sebagai negara dengan surplus perdagangan yang relatif kecil terhadap AS,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa fleksibilitas Indonesia dalam meningkatkan impor barang strategis dari AS dapat menjadi kartu diplomasi untuk menjaga keseimbangan neraca dagang sekaligus memperkuat hubungan ekonomi jangka panjang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News