Bank Indonesia (BI) kembali mengambil langkah strategis untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah tekanan eksternal yang meningkat.
Kali ini, intervensi dilakukan di pasar valuta asing (valas) dan instrumen derivatif domestik, yakni Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), terutama pada pasar off-shore yang bergerak di tengah libur panjang Lebaran.
Langkah ini diambil menyusul gejolak pasar keuangan global yang dipicu kebijakan saling balas tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok pada awal April 2025 lalu.
“Sebagaimana diketahui, kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan pemerintah AS tanggal 2 April 2025 dan respons kebijakan retaliasi tarif oleh pemerintah Tiongkok tanggal 4 April 2025 telah menimbulkan gejolak pasar keuangan global, termasuk arus modal keluar dan tingginya tekanan pelemahan nilai tukar di banyak negara, khususnya negara emerging market,” ujar Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, dalam siaran pers yang diterima Selasa (8/4/2025).
Ramdan menyebut tekanan terhadap rupiah telah muncul lebih dulu di pasar off-shore (Non Deliverable Forward/NDF), lantaran pasar domestik tengah libur dalam rangka Idulfitri 1446 H.
Oleh sebab itu, BI memutuskan untuk langsung melakukan intervensi secara berkesinambungan di pasar Asia, Eropa, dan New York.
Langkah Intervensi Ganda BI
Menurut Ramdan, intervensi tidak hanya dilakukan di pasar internasional, namun juga akan dilanjutkan secara agresif di pasar domestik saat kembali dibuka pada 8 April 2025. Bentuk intervensinya meliputi pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder serta intervensi di pasar valas melalui transaksi Spot dan DNDF.
Bank Indonesia juga akan melakukan optimalisasi instrumen likuiditas rupiah untuk memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan domestik,” katanya.
Tujuan dari langkah-langkah ini, lanjut Ramdan, adalah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah serta menjaga kepercayaan pelaku pasar dan investor terhadap ketahanan ekonomi Indonesia.
Respons Pasar dan Proyeksi Penguatan Rupiah
Pada perdagangan Selasa pagi (8/4), rupiah dibuka melemah 24 poin atau 0,14 persen ke level Rp16.846 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.822 per dolar AS. Meski begitu, beberapa analis menilai ada peluang penguatan di sesi penutupan.
Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, Ariston Tjendra, menilai aksi buy on dip yang terjadi di sebagian pasar saham Asia memberi harapan bagi penguatan rupiah meski situasi global masih penuh ketidakpastian.
“Aksi buy on dip pasar hari ini bisa memberikan sentimen positif ke aset berisiko, (kendati) pasar masih rentan tertekan pekan ini karena isu perang tarif masih bergulir dan pasar menunggu hasil negosiasi tarif beberapa negara,” ujarnya.
Ariston menambahkan bahwa pasar keuangan Indonesia yang baru dibuka pasca-libur kemungkinan akan merespons negatif berbagai isu selama penutupan, namun potensi rebound tetap terbuka.
> “Mungkin saja rupiah akan bergerak di Rp16.800 di awal perdagangan dan bisa ditutup lebih kuat di akhir perdagangan hari ini di sekitar Rp16.700,” ucapnya.
Mengapa DNDF Jadi Senjata Penting BI?
Instrumen Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) merupakan derivatif yang digunakan untuk menjaga ekspektasi nilai tukar rupiah di masa depan tanpa harus mengalirkan dolar secara fisik. DNDF memberi ruang bagi BI untuk menstabilkan kurs tanpa menggerus cadangan devisa secara langsung, sekaligus memberi kenyamanan hedging bagi pelaku usaha dan investor.
Penggunaan DNDF secara agresif oleh BI juga dinilai efektif untuk menekan spekulasi di pasar dan meredam volatilitas yang sering kali muncul dari pasar luar negeri seperti Singapura dan New York.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News