Setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan selama satu bulan lamanya, umat Islam di seluruh dunia akan memasuki satu Syawal yang mana momen ini selalu dirindukan dan dinantikan setiap tahunnya dengan merayakan keistimewaan yaitu, hari raya Idulfitri. Dalam hal ini tentu menjadikan seseorang kembali ke fitrahnya yang suci bersih, sebagai bentuk rasa syukur, dan sukacita yang disempurnakan dengan melakukan zakat fitrah.
Di Indonesia sendiri banyak sekali tradisi-tradisi yang dilakukan ketika menjelang lebaran seperti pulang kampung halaman, membeli baju baru, memberikan bingkisan parsel kepada keluarga maupun kerabat, sampai berbagi THR yang dilakukan oleh anggota keluarga yang sudah mempunyai penghasilan kemudian amplop berisikan uang dibagikan kepada sanak saudara.
Ada yang menarik dari fenomena pembagian Tunjangan Hari Raya (THR) di mana seseorang akan melakukan tukar uang baru terlebih dahulu yang ternyata tradisi ini sudah berlangsung sejak lama. Awal mula munculnya kebiasaan disebutkan ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam sekitar abad ke-16 hingga ke-18.
Kala itu, para bangsawan dan raja-raja rutin memberikan sejumlah uang baru sebagai bentuk hadiah pada saat lebaran kepada anak-anak sebagai wujud kasih sayang, ungkapan syukur dengan berbagi.
Berbagai pengaruh adanya tradisi membagikan THR yang diadopsi oleh masyarakat di Indonesia baik dari Timur Tengah ataupun dari tradisi bagi angpao pada budaya Tionghoa. Tetapi, di masa penjajahan kolonial Belanda masyarakat di zaman itu dilarang untuk membagikan THR sehingga mengalami penurunan serta dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Dari tahun ke tahun perkembangan fenomena penukaran uang tidak hanya dilakukan di Bank sebagai tempat penukaran resmi. Namun ada juga pedagang yang menjajakan jasa penukaran uang baru dipinggir jalan menjelang hari raya Idulfitri, tentu dalam hal ini dianggap ilegal karena nantinya akan mengambil keuntungan juga banyak risiko seperti kurangnya jumlah uang yang ditukar, tidak menjamin apakah uang tersebut asli atau palsu.
Lantas Bagaimana Islam Memandang Hal Tersebut?
Dalam Islam dikenal dengan istilah as-sarf masuk dalam ketegori jual beli uang. Hal tersebut dapat dikatakan jual beli uang karena pada praktiknya ada pertukaran harta antara kedua belah pihak. Kemudian, disebut dengan istilah as-sarf harta yang ditukarkan berbentuk mata uang.
Disebutkan bahwa pertukaran dalam satu jenis uang maka hukumnya diperbolehkan harus dengan syarat sama nilainya dan sama-sama kontan, uang yang ditukarkan adalah satu jenis uang rupiah dengan rupiah.
Dalam hal ini dapat memunculkan riba fadl jika pertukaran antar barang sejenis dengan takaran yang berbeda dimana seseorang membayar lebih dari uang yang ditukarkan. Selain itu juga, apabila penukaran uang baru menggunakan akad jual beli tentunya dilarang dalam Islam.
Yang perlu diperhatikan juga, jika seseorang mempunyai nilai lebih yang harus dibayar kepada penyedia jasa yang dimaksudkan upah atas jasanya maka diperbolehkan. Besaran tarif jasa dapat disesuaikan sesuai kesepakatan dua belah pihak antara konsumen dengan penyedia jasa.
Secara tidak langsung dengan adanya penukaran uang baru menjelang lebaran memberikan dampak pada perkembangan bisnis juga pada perkembangan hukum Islam dalam memjawab setiap permasalahan akibat arus zaman yang harus dihadapi dengan bijak.
Salah satu kemaslahatan yang muncul adalah membuka jasa penukaran uang oleh masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi pekerjaan yang harus ditempuh untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Jika menurut ulama bermazhab Syafii, Hanafi serta Hambali penukaran uang baru tidak boleh secara utang artinya harus langsung. Sedangkan pendapat kuat dari mazhab Maliki menyebut tidak boleh sehingga seseorang harus berhati-hati dalam menggunakan jasa penukaran uang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News