Di Bandung, Jawa Barat, siapa yang tidak mengenal Pom Bensin Al Ma’soem. Tanya saja supir angkot, mereka tidak saja tahu persis lokasinya tapi juga berkomentar positif tentang SPBU ini.
Nama Haji Ma'soem sangat terkenal di seantero Jawa Barat. Dirinya memiliki 36 SPBU di Jawa Barat dan menjadi cikal bakal dari Ma’soem Group yang didirikan pada 1950.
Kisah hidup dari pria kelahiran Desa Cibuyut, Tasikmalaya, Jawa Barat ini memang menginspirasi. Sebelum memulai bisnis di bidang minyak, pria yang lahir Tahun 1923 ini hanya berdagang kerbau.
Tahun 1950, Ma'soem merantau ke Bandung karena kondisi desanya yang tak aman. Di Kota Kembang, Ma’soem membuka usaha kerajinan yang dijual hingga Jakarta.
Tetapi usaha ini tak bisa memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, dirinya memutuskan untuk beralih sebagai pedagang minyak tanah di depan Pasar Dangdeur, Rancaekek, Bandung.
Ternyata usahanya ini berkembang, dia menjadi agen minyak tanah dan berhasil membeli sebuah truk bekas. Karena usahanya makin maju, dia membeli minyak tanah dari agen besar di Cikudapateuh Bandung sebanyak 200 liter.
Karena volume penjualan minyaknya makin naik, Mr. De Buy, Kepala BPM (Bataafsche Petroleum Mastschappij), sebuah perusahaan minyak milik Belanda melirik Ma’soem. Mr. De Buy mengangkat Ma’soem menjadi agen minyak tanah, membawahi daerah Cileunyi, Rancaekek, Cicalengka, dan Sumedang.
“Sejak itulah, usaha Ma’soem maju pesat dan berkembang di seluruh Kota Bandung dan sekitarnya,” tulis pegiat kajian agama Ibn Ghifarie yang dimuat Bandung Bergerak.
Tantangan bisnis
Pada dekade 1960-an, bisnis Ma’soem mendapatkan tantangan yang serius. Kehadiran Komunis dengan doktrin sama rata, sama rasa membuat pengusaha seperti Ma’soem dijadikan sasaran.
Bagi orang-orang Komunis, sosok Ma’soem dianggap sebagai kapitalis yang dianggap musuh bersama. Tetapi Ma’soem berhasil menghadapi serangan dari orang-orang Komunis.
Hal yang sama terjadi pada masa Orde Baru, di mana sejumlah perusahaan diminta untuk bergabung pada salah satu kekuatan politik. Bila tidak ingin dikeluarkan dari perusahaan tempatnya bergabung.
Di era 1970, persaingan bisnis SPBU di Jawa Barat mulai kencang seiring dengan maraknya kendaraan bermotor. Karena itu, Pertamina menetapkan syarat ketat bagi pengusaha yang akan membangun SPBU a.l.
Tetapi, tidak semua pengusaha bahan bakar mampu bertahan di tengah kondisi Indonesia saat itu. Apalagi tingginya angka inflasi setelah berlangsung peristiwa G30S/PKI yang membuat perekonomian masyarakat menurun drastis.
“Namun seiring berjalannya waktu, Ma’soem mampu memantapkan kembali usahanya dengan pulihnya kembali perekonomian di Indonesia,” tulis Bunga Kusumah & Herdiyan PT dalam Ma'soem dari Tukang Minyak Tanah jadi Raja SPBU yang dimuat Bisnis.
Sosok yang dermawan
Sosok Ma'soem yang terkenal sebagai orang jujur dan ramah kepada pembeli menjadikan usahanya cepat maju. Pintu rumahnya selalu terbuka untuk menerima kehadiran siapa saja.
Pria yang naik haji pada tahun 1955 ini juga terkenal sebagai sosok dermawan. Setiap harinya, Ma'soem menyisihkan 10 persen dari keuntungan bisnisnya untuk bersedekah.
Dirinya juga menetapkan soal pergantian shift, sehingga petugas tidak terganggu dalam melaksanakan kewajiban ibadah lima waktu. Selain itu, setiap menjelang salat Jumat, pelayanan di SPBU ditutup untuk sementara dan baru dibuka lagi setelah kegiatan di masjid.
SPBU milik Ma'soem juga mempunyai fasilitas penunjang seperti musala, dan servis yang kekeluargaan. Karena itu, pom bensin Al-Ma’soem selalu menjadi. SPBU favorit bagi pengendara.
“Dalam sehari tak kurang dari 30 ton BBM terjual. Tak heran bila SPBU Al-Ma’soem meraih prediket sebagi SPBU pilihan Pertamina,” jelasnya.
Sumber:
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News