Baju kebaya merupakan warisan budaya tak benda Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO. Baju kebaya yang menjadi pakaian khas para wanita ini memiliki sisi historis yang kental sebagai wujud perkembangan Indonesia dari waktu ke waktu. Bahan di balik baju kebaya memiliki makna tersirat di dalamnya.
Mengutip dari jurnal, menurut Taylor dari Nordholt (2005) menjelaskan bahan tekstil kebaya merupakan salah satu unsur simbol perbedaan strata sosial di kalangan perempuan Jawa di masa kolonial. Pada saat itu, perempuan Jawa khususnya di kalangan bangsawan dan rakyat biasa mengenakan bahan kebaya yang berbeda.
Baca juga : Sejarah dan Perkembangan Kebaya, Benarkah Asli Indonesia?
Berikut beberapa bahan baju kebaya yang memiliki makna sebagai simbol strata sosial pada masa itu:
Sutra
Bahan sutra dibuat dari kepompong ulat sutra. Menurut legenda yang ada, pertama kalinya bahan ini ditemukan di Tiongkok oleh istri Kaisar Huang Di dari Dinasti Qing. Awalnya, pihak kaisar tidak berniat untuk menjadikan bahan ini sebagai barang komoditi. Sampai-sampai memberikan ultimatum kepada para pihak yang dengan sengaja menyebarluaskan pembuatan sutra akan dihukum mati.
Namun, akhirnya pihak kekaisaran dihadapkan pada situasi sulit sehingga mengharuskan membuka jalur perdagangan baru dengan cara menjual sutra ke berbagai pelosok dunia. Pihaknya tahu bahwa sutra memiliki potensi untuk diminati banyak orang karena kualitasnya sangat baik dan juga proses pembuatannya yang tidak mudah. Bahkan, jalur perdagangan ini dinamakan sebagai Jalur Sutra.
Terbukanya jalur ini memberikan potensi untuk terjadinya pertukaran ide, teknologi, dan budaya membuat sutra sebagai komoditi dengan harga yang tinggi. Harga tinggi ini memberikan gambaran akan kemampuan daya beli kalangan tertentu sehingga menjadikan sutra sebagai simbol kekayaan dan status sosial termasuk di Indonesia.
Murdianingsih (2013) menjelaskan bagaimana sutra menjadi simbol status sosial pada tempo dulu terlihat dari pemakaian Kebaya Betawi yang hanya bisa dimiliki oleh kaum elite dikarenakan harganya yang mahal membuat rakyat biasa tidak cukup mampu untuk membelinya.
Beludru
Beludru atau umumnya dikenal juga dengan bahan velvet. Bahan beludru tradisional umumnya terbuat dari bahan sutra dengan proses produksi yang kompleks dan unik. Bahan beludru telah diproduksi pertama kali di Asia Timur sebelum Jalur Sutra dibuka. Bahan yang diproduksi tersebut memperlihatkan kesan mewah sehingga menjadikan bahan ini cukup berharga dan istimewa.
Dibukanya Jalur Sutra membuat bahan ini semakin dikenal orang dan membuatnya semakin diminati khususnya oleh orang-orang Eropa selama masa Renaisans. Bahan beludru yang terbuat dari serat sutra dengan prosesnya yang kompleks membuat harganya semakin mahal sehingga pada saat itu hanya bisa dipakai oleh kaum bangsawan dan keluarga kerajaan. Bordir mewah juga sering kali ditambahkan sebagai hiasan untuk menunjukkan kekayaan dan kekuasaan.
Penggunaan bahan beludru ini kerap ditemukan di baju kebaya. Pada masa kolonial, Kebaya Jawa berbahan ini kerap dikenakan oleh kaum bangsawan Jawa. Sering kali juga dipakai untuk acara pernikahan di kalangan kerajaan dan perempuan Belanda.
Brokat
Kata brokat merupakan kata serapan dari kata broccato yang dalam bahasa Italia berarti kain yang disulam karena kain ini merupakan hasil proses serat sutra yang disulam.
Bahan ini pertama kali muncul di Tiongkok selama masa peperangan kuno berlangsung, lalu menyebar ke belahan Eropa dan Timur Tengah selama periode perdagangan Jalur Sutra. Memasuki Abad Pertengahan sampai pada Renaisans, brokat menjadi salah satu bahan pakaian yang digunakan untuk mengekspresikan strata sosial.
Makna simbolis dari brokat juga tersebar ke Indonesia pada masa kolonial. Awalnya kain jenis brokat ini merupakan kain yang kerap diimpor dari Eropa. Seiring berkembangnya budaya, adopsi budaya Eropa pun terjadi dan kerap mempengaruhi kebaya itu sendiri membuat pemakaian kebaya brokat hanya sebatas untuk kalangan tertentu saja.
Baju kebaya memang merupakan warisan budaya yang memiliki makna yang berarti hingga saat ini. Bahan sutra, beludru, dan brokat menjadi tiga bahan kain yang umum digunakan untuk pembuatan baju kebaya di kalangan masyarakat kelas atas.
Terbukanya Jalur Sutra dalam sistem perdagangan dunia pada masa kolonial kala itu menjadi momen penting dalam membangun sejarah baru termasuk sejarah baju kebaya di Indonesia.
Munculnya pemaknaan simbolis budaya luar seperti Eropa dan Tiongkok dalam penggunaan bahan tekstil memberikan pengaruh yang cukup luas juga terhadap sejarah perkembangan kebaya di Indonesia. Hal ini terlihat dari perbedaan kebaya yang dikenakan pada kalangan bangsawan, rakyat biasa, maupun non pribumi.
Kini, seiring berkembangnya zaman dan pemahaman atas kebebasan berekspresi, pemaknaan simbolis kebaya sebagai penggambaran strata sosial tertentu sudah tidak lagi relevan. Kebaya bukan lagi sebagai pembeda strata sosial, tapi sebagai media untuk memperkuat identitas nasional.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News