Suku Kajang merupakan suku yang hidup di pedesaan Sulawesi Selatan. Masyarakat Suku Kajang hingga sekarang masih mempertahankan tradisi yang diwariskan secara turun temurun.
Dimuat dari Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra yang ditulis oleh Bungatang dan kawan-kawan dengan judul Harmoni Alam dan Tradisi: Mengungkap Makna Sarung
Hitam dalam Ritual Andingingi Suku Kajang menjelaskan tradisi yang dipertahankan oleh masyarakat tersebut.
Dijelaskan salah satu warisan leluhur yang dijaga oleh Suku Kajang adalah pakaian
warna hitam. Warna hitam inilah warna yang disakralkan ketika memasuki kawasan Ammatoa.
“Bagi masyarakat Kajang, warna hitam dimaknai sebagai segala bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk dalam hal kesederhanaan,” paparnya.
Makna sarung
Selain warna hitam, masyarakat Suku Kajang juga identik dengan penggunaan sarung. Bagi mereka, jelas Bungatang sarung memiliki makna yang lebih sakral dan mendalam.
Suku Kajang melihat sarung selain sebagai penutup tubuh bagian bawah dan alat yang digunakan pada saat kedinginan, tetapi sebuah identitas dari budaya. Hal ini sesuai dengan filosofi Talia pa ki tau sitaua punna tala ammake pa ki Tope Le’leng.
“Mereka mengatakan yang berarti seseorang tidak bisa disebut sebagai manusia yang seutuhnya apabila tidak memakai Tope Le’leng (Sarung Hitam),” ucapnya.
Masyarakat Kajang juga percaya bila tidak menggunakan sarung hitam akan ada sanksi yang menimpa mereka. Hal ini bukan sanksi dari adat semata, tetapi juga hukum alam atau karma buruk yang akan datang kepada orang tersebut.
“Namun mereka tidak mengetahui apa yang akan menimpa seseorang yang melanggar aturan, mereka hanya percaya bahwa akan ada sesuatu yang terjadi pada orang yang melanggar aturan,” jelasnya.
Gunakan bahan tradisional
Hal yang menarik adalah sarung hitam dibuat dari bahan-bahan alami dari lingkungan Suku Kajang. Bahan yang diolah secara tradisional, seperti kapas atau serat alami yang ditenun oleh pengrajin lokal.
“Hal ini menunjukkan penghormatan terhadap alam sebagai penyedia sumber daya,” papar Bungatang.
Dikatakan oleh Bungatang, ritual ini juga menunjukkan bahwa masyarakat suku Kajang begitu melestarikan lingkungan. Prosesi Andingngi melibatkan doa kepada leluhur dan roh penjaga alam agar terus menjaga harmoni ekosistem.
Dikatakan olehnya pada beberapa kasus, ritual juga diiringi dengan kegiatan menanam pohon atau membersihkan area tertentu. Karena itu baginya, budaya sarung hitam bukan hanya bentuk kesederhanaan tetapi juga cara untuk melestarikan alam.
“Suku Kajang percaya bahwa hidup sederhana membantu mereka menjaga keseimbangan dengan lingkungan sekitar,” tegasnya.
Sumber:
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News