mengenal lebih dekat tradisi kawin tangkap di sumba ntt - News | Good News From Indonesia 2024

Mengenal Lebih Dekat Tradisi Kawin Tangkap di Sumba, NTT

Mengenal Lebih Dekat Tradisi Kawin Tangkap di Sumba, NTT
images info

Istilah kawin tangkap merupakan salah satu tradisi unik yang masih berlangsung di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak lama. Tradisi ini bukan hanya mencerminkan kekayaan budaya lokal, tetapi juga mengandung makna sosial dan spiritual yang mendalam.

Meskipun ada beragam pandangan terhadap tradisi ini, kawin tangkap tetap menjadi bagian yang menarik untuk dibahas. Kawan GNFI, mari kita mengenal lebih dekat tentang tradisi kawin tangkap di Sumba, NTT.

Apa itu Kawin Tangkap?

Kawin tangkap adalah tradisi pernikahan yang dilakukan masyarakat pedalaman Sumba, NTT, yaitu di Kodi dan Wawewa yang melibatkan proses di mana seorang pria "menangkap" seorang wanita untuk dijadikan pasangan hidupnya.

Dalam tradisi ini, pria yang tertarik kepada seorang wanita akan membawa wanita tersebut tanpa persetujuan atau perkenalan formal terlebih dahulu.

Setelah "ditangkap", keluarga wanita akan berunding dengan keluarga pria untuk menetapkan syarat-syarat dan kesepakatan tentang pernikahan tersebut.

Dalam banyak kasus, meskipun wanita mungkin tidak sepenuhnya setuju, hal ini dianggap sebagai bagian dari adat yang harus dijalani yang bertujuan untuk mempererat ikatan antarkeluarga dan menjaga keharmonisan.

Proses ini sering kali dipandang sebagai simbol dari keberanian, kekuatan, dan kedewasaan seorang pria.

Alasan di Balik Tradisi Kawin Tangkap di Sumba

Pada awalnya Sumba memiliki sistem sosial matrilineal yang kuat, di mana warisan dan kekuasaan lebih banyak diwariskan melalui garis keturunan perempuan. Kawin tangkap bisa jadi merupakan upaya laki-laki untuk memperoleh kendali dalam dinamika sosial ini.

Kawin tangkap juga bisa terjadi karena adanya halangan dari persyaratan adat lainnya, tetapi pihak laki-laki tetap memaksa untuk menikahinya. Dilansir dari berbagai sumber, kawin tangkap biasanya dilakukan oleh keluarga mempelai pria yang terhalang belis atau mahar tinggi dari pihak perempuan Dengan demikian, pihak pria akan melakukan penculikan pada perempan yang dimauinya.

Jadi Kawan GNFI, kawin tangkap termasuk dalam perkawinan tanpa peminangan yang terjadi karena belum ada kesepakatan keluarga mengenai jumlah belis.

Proses Kawin Tangkap

Biasanya seorang laki-laki akan memilih seorang perempuan yang ingin mereka jadikan istri. Jika keluarga perempuan meminta belis yang tinggi, kawin tangkap bisa menjadi alternatif untuk menghindari pembayaran belis secara penuh.

Calon mempelai pria sering kali melibatkan kelompok atau teman-temannya untuk membantu dalam aksi penculikan. Mereka akan memilih waktu yang dianggap tepat untuk melakukan aksi tersebut.

Perempuan yang sudah diculik akan didandani. Calon mempelai pria juga sudah didandani dengan pakaian adat dan menunggangi seekor kuda.

Pihak laki-laki akan membawa sebuah parang dan seekor kuda kepada pihak perempuan sebagai tanda permohonan maaf dan tanda bahwa perempuan sudah ada di rumah pihak laki-laki.

Di sinilah terjadi negosiasi antara dua keluarga. Setelah mencapai kesepakatan, akan dilakukan upacara pernikahan adat. Perempuan yang telah diculik kemudian akan hidup bersama dengan suaminya.

Namun, perlu Kawan GNFI tahu bahwa seiring perkembangan zaman, praktik kawin tangkap yang dijalankan sudah tidak sesuai dengan tradisi.

Belakangan, tradisi ini melenceng dan merugikan perempuan secara pribadi. Kawin tangkap yang terjadi akhir-akhir ini seakan membuat perempuan merasa seperti diculik, disiksa, dilecehkan, bahkan merasa hina.

Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, termasuk faktor ekonomi dalam hal terkait utang, sehingga perempuan dijadikan tebusan bagi utang keluarga.

Faktor lainnya adalah kurangnya pendidikan mengenai hak-hak perempuan dan kesadaran hukum membuat banyak perempuan tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hak untuk menolak.

Kontroversi tentang Kawin Tangkap

Seperti yang kawan GNFI baca sebelumnya, dalam konteks budaya Sumba, praktik kawin tangkap sering kali dimaknai sebagai cara untuk mempererat hubungan antar keluarga dan menjaga keharmonisan sosial.

Namun, tantangan muncul ketika praktik ini berkembang dengan cara yang tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, di mana perempuan menjadi korban pemaksaan atau kekerasan fisik dan psikologis. 

Meskipun kawin tangkap memiliki akar budaya yang panjang, pemahaman masyarakat mulai bertransformasi.

Semakin banyak individu dan kelompok yang berupaya untuk mendekati tradisi ini dengan cara yang lebih menghargai hak perempuan, termasuk memastikan bahwa setiap perempuan yang terlibat dalam pernikahan memiliki suara dan pilihan yang bebas tanpa adanya tekanan.

Perubahan ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa kekerabatan dan keharmonisan antarkeluarga tidak harus dibangun dengan cara yang merugikan salah satu pihak, terutama perempuan.

Upaya Solutif dalam Penanganan Praktik Kawin Tangkap

Pada tahun 2020 lalu, para bupati di Pulau Sumba sempat menekan kesepakatan untuk menolak kawin tangkap sebagai budaya Sumba, setelah kasus yang menimpa seorang perempuan.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, hadir dalam penandatanganan kesepakatan tersebut yang bertujuan untuk memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.

Kesepakatan ini mencakup berbagai langkah strategis untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak perempuan dan anak, serta untuk mencegah kekerasan berbasis gender, termasuk praktik kawin tangkap yang masih terjadi.

Aprissa sebagai seorang aktivis perempuan juga turut andil dalam menekankan bahwa pendidikan dan sosialisasi sangat penting untuk mengubah persepsi tentang kawin tangkap yang kini harus dipandang bukan lagi sebagai tradisi, melainkan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Ia menegaskan bahwa praktik tersebut harus dihentikan dan para pelaku harus ditindak secara pidana untuk memberikan efek jera, sekaligus menunjukkan bahwa tradisi tidak boleh menjadi pembenaran untuk kekerasan berbasis gender.

Aktivis perempuan dan peneliti kajian gender, Martha Hebi, juga menilai bahwa meskipun kawin tangkap mungkin diterima di masa lalu, kini sudah tidak relevan lagi.

Perkembangan dalam komunikasi, transportasi, dan kebijakan perlindungan perempuan dan hak asasi manusia, termasuk ratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) dan berbagai undang-undang perlindungan perempuan yang menjadikan praktik tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan martabat manusia.

Upaya-upaya seperti ini bertujuan untuk melindungi hak-hak perempuan, menghapuskan praktik kekerasan berbasis gender, dan menciptakan kesadaran kolektif akan pentingnya martabat serta kesetaraan dalam setiap aspek kehidupan.

Bagaimana Kawan GNFI, kamu sudah tahu tentang tradisi kawin tangkap yang ada di Sumba, NTT? Kawin tangkap ini menarik sebagai tradisi budaya, tetapi perlu dipahami antara pentingnya menjaga keseimbangan antara pelestarian warisan budaya dan pemahaman akan hak-hak individu, terutama perempuan.

Masyarakat harus melek bahwa nilai-nilai kekeluargaan dan saling menghormati tetap menjadi inti dari setiap praktik adat. Kawan GNFI, apa pendapatmu?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NS
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.