Bagus Putra Muljadi adalah ilmuwan Indonesia yang dikenal akan riwayat pendidikannya yang menarik. Dulunya, ia mengenyam pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan lulus telat waktu dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tidak menembus angka tiga.
Bagus membuktikan bahwa nilai akademik bukan segalanya dalam mengejar kesuksesan. Seusai mendapat gelar sarjana, ia lebih tekun belajar dan menyelesaikan gelar master dan doktornya di bidang mekanika terapan di National Taiwan University (NTU).
Kini Bagus menjadi asisten profesor di Departemen Teknik Lingkungan dan Kimia Universitas Nottingham, Nottingham, Inggris. Tugasnya tidak hanya mengajar, tapi juga menjembatani dosen dan peneliti Indonesia dengan instansi luar negeri.
Sebagai akademisi ternama, Bagus dalam beberapa tahun terakhir memberi perhatian penuh terhadap dunia pendidikan nasional. Menurutnya banyak faktor yang membuat pendidikan Indonesia masih begitu-begitu saja, salah satunya masyarakatnya yang terjebak dalam masalah konformitas.
Masalah Konformitas
Bagus meyakini Indonesia bisa mencetak akademisi terbaik level dunia. Namun, banyak tantangan yang mesti dilalui dunia pendidikan nasional.
Mulai dari kajian interdisipiliner yang kurang atau malah tidak didukung pemerintah sampai tak adanya pertukaran pengetahuan antarinstansi pendidikan. Selain itu, Bagus juga melihat adanya masalah dalam linearitas dan konformitas karena sistem edukasi di bawah universitas bersikap konformis.
“Saya kalau pulang ke rumah dapat nilai A atau 100 di dalam pelajaran menggambar, mungkin orang tua saya enggak akan sebangga ketika saya dapat nilai 100 di bidang matematik. Padahal apa yang saya lakukan sekarang mengartikulasikan pikiran baik dalam medan tertulis maupun medan visual itu sama pentingnya dengan matematik,” ucap Bagus kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Padahal menurut Bagus, sekalipun pelajaran menggambar tidak memenuhi konformitas yang dianut masyarakat, keberhasilan tetap bisa digapai. Karena melalui pelajaran yang disukai itulah hasrat liar untuk berkarya bisa terpenuhi dan jika konsisten kesuksesan bisa datang dengan sendirinya.
“Di Indonesia yang berhasil di sistem formal education sampai SMA adalah mereka yang cenderung berpikir secara konformis. Yang berpikir secara antitetikal, berpikir secara liar itu biasanya tidak berhasil. Padahal baik di bidang akademik sekalipun orang yang berpikir liar itulah yang berhasil. Kita melihat Albert Einstein misalnya, itu orang yang sangat berpikir liar,” ujar Bagus.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
