Pada 5 November 2024, rakyat Amerika Serikat melakukan pesta demokrasi untuk memilih pemimpin negara yang baru. Dalam helatan pemilu tersebut, Donald Trump kembali terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat menggantikan Joe Biden.
Data dari Associated Press (AP), Trump unggul telak dibandingkan pesaingnya, Kamala Harris, dengan 312 suara elektoral di masing-masing negara bagian. Sementara itu, Harris hanya mendapatkan 226 suara, di mana jumlah suara elektoral yang dibutuhkan untuk menduduki kursi kepresidenan Amerika Serikat adalah 270.
Kawan GNFI, terpilihnya Trump sebagai presiden baru digadang-gadang akan memberikan dinamika politik, ekonomi, dan luar negeri Amerika Serikat empat tahun ke depan. Trump sendiri dikenal sebagai presiden yang lebih mengutamakan urusan domestik negaranya.
Sebagai negara adidaya, kebijakan yang dibuat Trump nantinya tidak hanya berdampak pada negara-negara yang menjadi “rival” Amerika Serikat selama ini, tetapi juga kepada sekutunya. Hasil pemilu tersebut digadang-gadang akan memberikan perubahan yang cukup besar bagi kebijakan luar negeri di sana ke depannya.
Kata ahli soal terpilihnya Trump
Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Agastya Wardhana, S.Hub.Int., M.Hub.Int., menyebut bahwa Trump tampaknya akan lebih fokus pada urusan dalam negerinya.
“Berbeda dengan Biden, AS ke depan tampaknya lebih fokus ke urusan domestik. AS akan jadi lebih transaksional dan tidak lagi memandang kerja sama internasional sebagai hal yang penting kalau tidak menguntungkan AS,” jelasnya dalam rilis Unair.
Sebagai informasi, Biden dan Trump memiliki sudut pandang yang sangat berbeda tentang peran Amerika Serikat di kancah global. Jika Biden cenderung untuk menguatkan aliansinya dengan para sekutu, khususnya dengan Eropa, Trump justru menggunakan kebijakan yang lebih isolasionis.
Mantap! Indonesia Bakal Suplai Prekursor Mobil Listrik untuk Pasar Amerika Serikat
Jelas bahwa Biden menganut kebijakan luar negeri tradisional Amerika Serikat yang mengedepankan aliansi serta bekerja sama untuk mencapai kepentingan nasional. Sementara Trump berpendapat jika Amerika Serikat dapat “berdiri sendiri” selagi bisa mencapai kepentingan nasionalnya.
Hal ini tentu akan membawa warna politik dan ekonomi yang sangat berbeda untuk Amerika Serikat dan dunia. Agas, demikian dosen FISIP Unair tersebut dipanggil, menjelaskan jika Trump akan melanjutkan kebijakan yang ia buat sebelumnya.
Trump pernah menjabat sebagai Presiden AS ke-45 atau pada periode 2017-2021. Saat itu, presiden asal Partai Republik tersebut pernah menyatakan bahwa masalah di Ukraina adalah masalah Eropa, bukan masalah Amerika Serikat.
Di sisi lain, terdapat kemungkinan jika Trump akan menggunakan narasi anti imigran dan melanjutkan perang dagang dengan Tiongkok. Di bawah kepemimpinannya, Tiongkok akan menjadi “fokus utama”.
Dengan prinsip America’s First, Trump bisa saja menaikkan tarif impor terhadap barang-barang asal negeri Tirai Bambu itu. Ini bertujuan agar daya saing produk domestik Amerika Serikat meningkat.
Namun, Agas juga menyebut jika kecil kemungkinan Trump akan memutus total ketergantungan Amerika Serikat kepada Tiongkok. Hal tersebut dikarenakan ekonomi kedua negara sudah sangat terhubung.
Apa pengaruhnya untuk Indonesia?
Agas berpendapat bahwa naiknya Trump sebagai pemimpin negara Amerika Serikat yang baru tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan bagi Indonesia. Menurutnya, dampaknya tidak terlalu berpengaruh, berbeda dengan Eropa, Tiongkok, maupun sekutu Amerika Serikat lainnya.
“Bagi Indonesia, pergantian presiden AS bisa memberikan peluang. Pada periode Trump sebelumnya, AS itu sangat transaksional. Ini tidak akan jauh berbeda pada periode keduanya Trump. Selagi AS maupun mitranya sama-sama untung ya mereka bisa kerja sama. Beda dengan Biden yang mengedepankan value (demokrasi) sebagai syarat kerja sama, it doesn’t matter buat Trump,” sebutnya.
Baginya, Trump memiliki kesamaan dengan Prabowo. Keduanya dianggap memiliki prinsip pragmatis dan transaksional.
Indonesia dianggap memiliki banyak peluang untuk dapat bekerja sama dengan negeri Paman Sam itu mengingat keduanya memiliki presiden dengan prinsip yang hampir sama.
“Kalau di periode pertama Trump kemarin kan Indonesia dipimpin Jokowi yang tidak tertarik dengan isu luar negeri. Jokowi cenderung pasif dan lebih menyerahkan isu luar negeri ke Kemenlu. Kalau Prabowo saya lihat dia lebih aktif di isu-isu luar negeri. Saya kira ada kecocokan antara Trump dan Prabowo yang sama-sama pragmatis dan transaksional,” pungkasnya.
Joe Biden Luluh! Indonesia Bakal Jadi Pemasok Nikel Kendaraan Listrik di AS
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News