Suku Nias merupakan salah satu suku yang mendiami Kepulauan Nias dimana orang-orang Suku Nias biasa menyebut diri mereka sebagai Ono Niha.
Meskipun masyarakat Suku Nias dikenal dengan kebudayaan megalitikumnya, suku ini juga memiliki tradisi serta budaya lain yang sudah dilakukan sejak turun-temurun.
Salah satu tradisi yang masih dijaga oleh Suku Nias adalah tradisi upacara kematian. Masyarakat Nias memiliki beragam sebutan untuk kematian, seperti aetu noso (putus nyawa), mofano (pergi), mondroi ulidano (meninggal dunia), serta ahuwa alele (tidak berdaya).
Pada artikel kali ini, Kawan GNFI akan diajak untuk menyimak seputar rangkaian tradisi upacara kematian dari Suku Nias, yaitu Tari Folaya dan upacara Fame'e Fangasi!
Tari Folaya
Tari Folaya merupakan tarian penghormatan yang ditarikan pada acara adat Foko’o Simate dalam rangkaian acara dari upacara kematian Suku Nias.
Tarian ini sudah ditarikan secara turun-temurun oleh masyarakat Suku Nias sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang sudah meninggal, terutama kepada mereka yang mempunyai kedudukan tinggi.
Tarian yang dilakukan oleh laki-laki ini akan ditarikan di sekitar peti jenazah sesaat sebelum peti diberangkatkan menuju pemakaman.
Penari akan memulai menari ketika memasuki rumah duka yang akan dipimpin oleh ketua adat atau Ere Hoho dan diiringi oleh nyanyian menuju rumah duka atau syair Boli Hae.
Syair tersebut dinyanyikan oleh para penari Folaya, para perempuan serta para istri dari tetua adat secara bersahutan.
Tari Folaya memiliki ciri khas, dimana para penari akan melakukan lompatan kecil secara bergantian.
Para penari juga akan melakukan gerakan tangan menunjuk ke arah kanan atas serta gerakan kepala yang mengikuti arah gerakan tangan.
Rangkaian gerakan tersebut merupakan bagian dari gerakan Hiwo dan Boli Hae yang merupakan prosesi awal Tari Folaya.
Dalam melakukan tarian ini, para penari akan diiringi oleh syair lagu kematian serta alat musik tradisional Nias, seperti Gondra, Aramba dan Faritia.
Bagi masyarakat Nias, Tari Folaya tidak hanya sebagai bentuk tarian penghormatan terhadap orang mati, tetapi juga sebagai bentuk solidaritas masyarakat Suku Nias.
Upacara Fame’e Fangasi
Ritual atau upacara Fangasi merupakan upacara yang dilakukan kepada orang yang sudah meninggal yang bertujuan untuk memutuskan orang yang mati kepada yang hidup serta sebaliknya.
Fangasi atau Fangasiwai juga memiliki arti yaitu masa terakhir atau penyelesaian kepada orang yang meninggal.
Upacara ini merupakan salah satu upacara penting yang dilakukan oleh Suku Nias karena dianggap dapat membawa berkat.
Masyarakat percaya upacara ini dapat mencegah kutukan dan sial, dengan melakukan upacara ini masyarakat berharap dapat mendapat berkat dalam kehidupan selanjutnya.
Selain itu, pesta atau perayaan ini dilakukan dengan tujuan agar jiwa orang yang meninggal bisa pergi ke alam baka dengan tenang.
Biasanya, dalam upacara Fangasi masyarakat Suku Nias akan mengorbankan 100 hingga 200 ekor babi serta melaksanakan pesta dengan mendatangkan tokoh agama untuk mendoakan orang yang meninggal setelah penguburan.
Jumlah babi yang dikorbankan juga bergantung pada kedudukan atau status sosial orang yang meninggal.
Hal ini dilakukan terutama kepada orang tua orang tua dengan jenis kelamin laki-laki serta mereka yang memiliki kedudukan dalam adat.
Upacara Fangasi juga merupakan bentuk ucapan terima kasih kepada orang-orang yang sudah terlibat membantu pemakaman.
Sumber:
- Frengki Faebua Dodo Daeli, dkk. (2024). Analisis Nilai Budaya Nias Fame'e Fangasi Setelah Acara Pemakaman di Desa Ehosakhohi. Jurnal Kata: Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya, 12(2).
- Ratna Zebua, dkk. (2024). Makna Ritual Fangasi Sebagai Upacara Adat Setelah Kematian Suku Nias di Desa Ononazara Kecamatan Tugala Oyo Kabupaten Nias Utara Tahun 2024. Wissen: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 2(24
- Ayu Marnila Zebua. (2022). Fungsi Folaya Pada Acara Foko'o Simate dalam Upacara Kematian Masyarakat Nias. Gesture: Jurnal Seni Tari, 11(1).
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News