Pemerintah mencanangkan visi Indonesia Emas untuk 2045 mendatang. Harapannya, pada usia ke-100 tahun, Indonesia bisa lebih maju di berbagai aspek, dari ekonomi hingga pendidikan.
Badan Pusat Statistik memproyeksikan penduduk Indonesia pada 2045 akan mencapai lebih dari 318 juta jiwa di mana angka usia produktif mencapai sekitar 69 persen. Itu artinya bonus demografi akan terjadi dan berpeluang menggerak percepatan ekonomi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Namun, itu hanyalah bayangan. Dalam menatap Indonesia Emas, ada yang optimistis, ada pula yang pesimistis. Termasuk budayawan Kota Yogyakarta yang merasa ada rasa pesimistis, tapi juga optimistis jika ada perbaikan-perbaikan yang dilakukan terutama di dunia pendidikan nasional.
Kuliah Dimurahkan
Belum lama ini salah satu konten video kuis jalanan yang diikuti siswa-siswi SMA menyebar di media sosial. Video itu viral karena mereka tidak mampu menjawab pertanyaan seputar pengetahuan umum dari sang pembuat konten. Imbasnya, nada-nada pesimistis Indonesia Emas 2045 akan tercipta pun menggema.
Mungkin itu hanyalah sepersekian kecil contoh dari dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Namun, hal tersebut tak dikesampingkan begitu saja yang akhirnya dikritisi betul oleh banyak akademisi yang merasa kualitas peserta didik di tanah air belum mumpuni menggapai mimpi Indonesia Emas.
Jadi, jangan heran ada perasaan pesimistis lahir dari kondisi yang berkembang dewasa ini. Paksi sendiri merasa pesimistis Indonesia Emas terwujud jika berkaca dengan kondisi sekarang.
“Mungkin jawaban saya akan berbeda besok atau di tahun 2045. Tapi melihat gejala dan fenomena hari ini saya agak-agak pesimis dengan impian Indonesia Emas itu kalau memang secara jumlah dikatakan 2045 itu usia produktifnya banyak,” ucap Paksi kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Menurut sosok yang dikenal sebagai pelestari tradisi dan budaya tersebut, sulit mewujudkan Indonesia Emas jika watak atau daya nalar Indonesia masih jalan di tempat. Paksi pun merasa takut bonus demografi yang lebih sekadar memproduksi SDM secara kuantitas, bukan kualitas. Oleh karena itu, Paksi menilai butuhnya akses pendidikan yang memadai agar nantinya menciptakan manusia-manusia Indonesia generasi pemikir.
“Harusnya hari ini kuliah dimurahkan, akses-akses untuk anak muda yang mau menuntut ilmu setinggi-tingginya dipermudah dibikin murah. Tapi yang terjadi kan sebaliknya. Harusnya kalau mau merancang ini sekarang semua orang harus bisa kuliah, harus bisa sampai S2, S3. Jadi nanti tenaga kerjanya banyak tetapi tenaga kerja yang mampu berpikir kritis untuk menciptakan sesuatu, bukan tenaga kerja yang pasif untuk bisa disuruh-suruh,” ujar lulusan Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada tersebut.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News